Oleh Arifin Panigoro, Penggiat dan Suporter Komisi Nasional Pengendalian Tembakau
Kabar duka itu menghampiri saya seperti belati yang mengiris ulu hati. Perih! Dokter Endang Rahayu Sedyaningsih mendahului kita semua, Rabu (2/5), kembali ke Yang Ilahi.
Sejatinya, saya—sebagaimana khalayak ramai—ikuti pemberitaan tentang kesehatan mendiang Ibu Menteri Kesehatan, yang belakangan hari tengah merosot tajam karena penyakit yang diidapnya. Saya pun mendengar Bu Dokter, demikian saya kerap menyebut sosok almarhumah, terdeteksi mengidap penyakit kanker paru. Saya juga menyimak cerita beberapa kawan dan saudara saya yang kebetulan juga aktif di departemen yang ia pimpin, bahwa Bu Dokter sedang menjalani terapi.
Satu hal yang bikin saya salut, kendati dalam fase pengobatan, ia tidak menunjukkan tanda-tanda mengendorkan semangat dan dedikasi pada departemen yang ia pimpin. Adik saya yang jadi tenaga medis di sebuah rumah sakit di Ibu Kota malah menyebutkan, ”Dia tidak mau pergi Pin, seolah-olah dia tetap sehat seperti sediakala. Dia meminta kami semua fokus dalam tugas di ranah pengabdian medis.”
Gigih, cakap, rendah hati
Hadirnya sosok Bu Dokter seperti rekan dalam berjuang. Ceritanya, kami sama-sama getol memperjuangkan bebasnya masyarakat Indonesia dari ancaman bahaya tembakau.
Ancaman dari pengisap tembakau di Indonesia bukan isapan jempol belaka. Data yang ada di Komisi Nasional Pengendalian Tembakau menunjukkan, tak kurang dari 40 juta anak Indonesia rawan terpapar bahaya asap rokok. Pemicunya faktor orangtua atau saudara mereka yang punya kebiasaan buruk ini dalam menikmati tembakau di rumahnya.
Indonesia adalah ”juara” ketiga dari konsumen terbesar rokok dunia setelah China dan India. Total rokok yang dibakar mencapai 220 miliar batang per tahun di Tanah Air. Fakta ini sungguh mencengangkan, sekaligus memprihatinkan.
Di mata Bu Dokter, rupanya, maraknya konsumsi rokok tidak lepas dari gencarnya iklan dan promosi dari produsen yang mengemasnya dengan menarik bagi masyarakat. Rokok bahkan menyasar masyarakat dengan pencitraan sebagai bagian dari gaya hidup modern. Berbagai bentuk ”kampanye” rokok ini menumbuhkan kecemasan di kalangan praktisi yang menggagas pengendalian bahaya tembakau. Utamanya risiko pada anak-anak dan perokok pasif.
Sosok almarhumah begitu gigih mendukung gerakan dan kegiatan Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Kebetulan saya dan keluarga turut aktif mendorong kegiatan komisi ini sebagai suatu gerakan masyarakat madani.
Kegetolan Bu Dokter mendukung kami membuat saya kagum, tetapi juga bertanya-tanya dari mana sumber dan akar keberaniannya. Padahal, sudah jadi rahasia umum kekuatan lobi industri tembakau begitu besar pada kekuatan politik di republik ini. Bu Dokter tak surut langkah. Dia tak terlihat mudah menyerah meskipun proses legislasi dalam mengegolkan regulasi pengendalian tembakau mengalami pasang surut yang tidak ringan bagi dirinya. Di titik ini, saya dan teman-teman yang giat dalam Komisi Nasional Pengendalian Tembakau merasa kehilangan rekan sejawat dan seperjuangan.
Sikap gigih Bu Dokter ternyata bukan ”barang tiban” atau instan yang hadir begitu saja. Saya coba bicara dengan beberapa kolega dan temannya. Kebetulan ada teman semasa SMA Negeri 4 Gambir, Jakarta Pusat, yang.........(selengkapnya baca Harian Kompas, Jumat (4/5/2012), halaman 7)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.