Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gunakan UU Pencucian Uang untuk Kasus Lain Nazaruddin

Kompas.com - 13/11/2011, 19:03 WIB
Ary Wibowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesian Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi agar menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam mengusut kasus lain mantan bendahara umum Partai Demokrat, M Nazaruddin.

Koordinator ICW Febri Diansyah mengatakan siapa pun menerima dana dari Nazaruddin harus diproses dengan UU tersebut. "Karena kasus Nazaruddin ini banyak sekali. Jadi harus pakai UU TPPU itu. Khususnya untuk penerima dana yang mempunyai jumlah besar. Jadi, tidak hanya perorangan, tetapi bisa juga lembaga atau perusahaan yang menerima aliran dana dari Nazaruddin," ujar Febri sesuai mengikuti sebuah diskusi di Jakarta, Minggu (13/11/2011).

Sebelumnya, KPK memastikan belum menggunakan UU TPPU untuk menjerat Nazaruddin dalam kasus dugaan suap ke Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam terkait pembangunan wisma atlet SEA Games di Jakabaring, Palembang tersebut.

Juru Bicara KPK Johan Budi mengatakan KPK akan melihat terlebih dahulu perkembangan kasus suap wisma atlet di persidangan Nazaruddin untuk menggunakan UU TPPU di kasus berikutnya.

Febri mengatakan, sebaiknya KPK memang menggunakan UU TPPU tersebut dalam kasus lain Nazaruddin. Pasalnya, dalam kasus Wisma Atlet saat ini, sebelum Nazaruddin, KPK sudah menetapkan dua tersangka lainnya tidak menggunakan UU tersebut. "Karena akan sangat janggal juga kalau Nazaruddin pakai UU TPPU, tapi Mindo Rosalina Manulang, Mohammad El Idris itu tidak diterapkan. Tapi kan tidak boleh berhenti sampai disitu saja," kata Febri.

Lebih lanjut, dikatakan Febri, alasan lainnya agar UU TPPU diterapkan dalam kasus Nazaruddin, adalah untuk memberikan efek jera bagi para koruptor agar tidak lagi melakukan perbuatannya tersebut. Ia menilai, saat ini hukum di Indonesia memang belum cukup memberikan efek jera terhadap koruptor. "Para koruptor tidak takut dengan lamanya hukuman. Tetapi mereka takut kalau kekayaannya itu hilang. Jadi inilah pentingnya digunakan UU TPPU itu, agar semua koruptor dalam kasus Nazaruddin ini bisa dijerat dengan hukuman yang setimpal," kata Febri.

Seperti diberitakan, pada kasus wisma atlet Nazaruddin menuding sejumlah pihak turut menerima uang terkait proyek senilai Rp 191 miliar itu. Nama-nama yang disebut oleh Nazar menerima uang itu antara lain, Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, anggota Badan Anggaran DPR Angelina Sondakh, Mirwan Amir, dan Wayan Koster, serta Ketua Fraksi Partai Demokrat, Djafar Hafsah.

Ahli hukum tindak pidana pencucian uang dari Universitas Padjadjaran Bandung, Yesmil Anwar mengungkapkan, UU TPPU tepat jika digunakan untuk mengusut kasus-kasus korupsi yang diduga melibatkan banyak orang sehingga dapat menjerat lebih banyak koruptor dan mampu mengembalikan lebih banyak kerugian negara.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

    Nasional
    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

    LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

    Nasional
    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

    Nasional
    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

    Nasional
    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

    Nasional
    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

    Nasional
    'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    "Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

    Nasional
    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

    Nasional
    Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

    Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

    Nasional
    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

    Nasional
    Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

    Nasional
    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

    PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

    Nasional
    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

    Nasional
    Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

    Nasional
    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Soal Presidential Club, Prabowo Diragukan Bisa Didikte Presiden Terdahulu

    Nasional
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com