JAKARTA, KOMPAS.com — Perdebatan mengenai kewenangan khusus intelijen untuk melakukan pemeriksaan intensif dan penyadapan yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang Intelijen terus berlanjut. Pengamat studi militer dan terorisme Andi Widjajanto mengatakan, sebaiknya wewenang khusus dalam RUU tersebut dihilangkan dan dimasukan ke revisi Undang-Undang Terorisme Nomor 15 Tahun 2003.
"Seandainya pemerintah nantinya membutuhkan operasi kontraseparatis, hal itu bisa dilakukan dalam dekrit militer yang dapat diumumkan oleh Presiden berdasarkan Peraturan Pusat Darurat Militer No 2359," kata Andi di Depok, Jawa Barat, Rabu (25/5/2011).
Ia menambahkan, jika kewenangan tersebut tidak dipilah secara baik, yang terjadi adalah tindakan pidana yang dapat melanggar hak asasi manusia. Menurut dia, dalam RUU tersebut bisa saja masyarakat menjadi korban jika mereka mengetahui informasi-informasi yang dinilai mampu membahayakan kinerja intelijen. Andi mengungkapkan, dalam draf asli RUU Intelijen tahun 2008, Badan Intelijen Negara (BIN) hanya meminta kewenangan khusus untuk memberantas terorisme. Ia menilai, kewenangan khusus seperti penyadapan dan pemeriksaan intensif selama 7 x 24 jam merupakan tambahan dari DPR untuk mencegah separatisme dan terorisme di Indonesia.
"Jadi, walaupun intelijen mau menggunakan kewenangan itu, harus diatur secara jelas mengenai pengaturan tentang pidana dan informasi-informasi intelijen, harus diatur di KUHP. Dan dalam UU Terorisme No 15/2003 juga harus diatur dan direvisi kewenangannya agar tidak bentrok dengan UU Intelijennya nanti," jelasnya.
Salah satu materi pengaturan yang mengundang pro dan kontra dalam pembahasan RUU Intelijen adalah kewenangan khusus intelijen untuk melakukan pemeriksaan intensif selama 7 x 24 jam dan penyadapan. Ketentuan ini dinilai mampu membahayakan hak asasi manusia dan kebebasan pers. Dalam hal kewenangan penyadapan, RUU tersebut juga dinilai bertentangan dengan UU Terorisme yang terdapat dalam Pasal 31 UU No 15/2003 tentang Terorisme, yang menyatakan, berdasarkan bukti permulaan yang cukup, penyadapan oleh penyidik hanya dapat dilakukan atas perintah ketua pengadilan negeri. Sementara dalam RUU Intelijen dinyatakan, penyadapan yang ditujukan kepada pelaku teroris tidak memerlukan izin pengadilan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.