Tri Agung Kristanto KOMPAS.com - Jeremy Bentham, filsuf kelahiran Inggris, lebih dari 250 tahun lalu mengingatkan, berbagai macam penyelewengan sangat mungkin terjadi pada lembaga yang tak terbuka. Hanya dengan keterbukaan, publikasi yang proporsional, termasuk di lembaga peradilan, pengawasan dan keadilan itu bisa terwujud. Kesadaran tentang pentingnya akuntabilitas dan transparansi kepada publik itu, terutama dari pemerintah, sebenarnya sudah muncul sejak gerakan reformasi bisa mengganti pemerintahan Orde Baru yang cenderung tidak terbuka dan tanpa pertanggungjawaban yang memadai. Kesadaran inilah yang kemudian ”diterjemahkan” pemerintah menjadi program reformasi birokrasi. Sosiolog Meuthia Ganie- Transparansi dan akuntabilitas, seperti diingatkan Bentham, adalah kata kunci. Namun, sepanjang satu dasawarsa ini, harus diakui, hampir tidak terlihat perubahan nyata terkait perbaikan birokrasi di negeri ini. Ada lima sasaran reformasi birokrasi yang ingin diwujudkan pemerintah, yakni birokrasi yang bersih, birokrasi yang efisien dan hemat, birokrasi yang transparan, birokrasi yang melayani, serta birokrasi yang terdesentralisasi. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah dengan titik berat pada kabupaten/kota yang digulirkan sejak tahun 1999, rasanya baru birokrasi yang terdesentralisasi yang jelas terlihat. Itu pun diwarnai dengan meningkatnya perkara korupsi yang terungkap di daerah, yang dicerminkan dengan kian banyaknya birokrat dan kepala daerah yang diadili karena terlibat korupsi. Belum lagi, pelayanan birokrasi kepada publik masih dikeluhkan, selain mahal, juga standardisasinya yang masih belum jelas. Birokrasi di negeri ini memang tidak ramping. Mungkin karena itu, pemerintah menjalankan reformasi birokrasi Namun, seperti diingatkan Zainal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dalam diskusi di Komisi Yudisial, Guru besar ilmu administrasi publik Universitas Gadjah Mada, Miftah Thoha, pun mengakui, kenaikan gaji memang dibutuhkan semua pegawai. Namun,