BELAKANGAN ini, agenda pemakzulan (impeachment), mengemuka sekali. Ada sejumlah anak bangsa yang menggulirkan isu dan agenda pemakzulan ini, yang ditujukan kepada Presiden Jokowi.
Pemakzulan berarti pendongkelan seorang pejabat publik dari jabatan yang sedang dipegangnya, terutama pejabat yang memegang jabatan politik.
Tak ada kata dan proses yang paling ditakuti oleh seorang politisi, kecuali pemakzulan. Ini berkaitan bukan hanya dengan hilangnya jabatan yang telah ia perjuangkan, tetapi juga hilangnya harga diri, reputasi keluarga, pengikut yang selalu bersorak, dan sebagainya.
Agenda pemakzulan Presiden Jokowi yang berhembus itu, nampak-nampaknya pelik dilaksanakan, apalagi bila motivasinya hanya mendongkel Jokowi sebelum pemilihan umum pada 14 Februari 2024 mendatang.
Masalahnya, proses pemakzulan di negeri kita, cukup berliku dan amat panjang. Ia melibatkan DPR RI, Mahkamah Konstitusi, dan MPR.
Semuanya membutuhkan waktu. Maka, agenda pemakzulan Presiden Jokowi untuk kepentingan penyelenggaraan pemilu 2024, nyaris mustahil dilakukan.
Bahwa agenda pemakzulan Jokowi bergulir setelah pemilihan presiden, itu bisa saja terjadi, selama persyaratan konstitusionalnya terpenuhi.
Pemakzulan presiden tidak sekadar kehendak politik, tetapi ia memiliki prasyarat yuridis yang cukup ketat, termasuk proses dan mekanismenya.
Singkatnya, pemakzulan presiden di negeri kita, selain mensyaratkan substansi pelanggaran yuridis, juga mensyaratkan mekanisme dan proses.
Pertanyaannya, mengapa agenda pemakzulan tiba-tiba muncul di permukaan? Bukannya Presiden Jokowi dianggap presiden yang sangat popular?
Bukankah, katanya, Presiden Jokowi sangat merakyat, memberi kesenangan dan kebahagiaan kepada rakyat? Sekali lagi, katanya, Presiden Jokowi adalah pemimpin yang lurus, tidak neko-neko.
Penarik pelatuk gagasan pemakzulan ini, ditarik rasa kekhawatiran tentang penyelenggaraan pemilu yang jujur, bersih dan adil.
Para penggagas dan yang lain-lainnya, gelisah dan tidak memercayai penyelenggaraan pemilu mendatang, dilaksanakan sesuai dengan aturan main.
Mereka curiga bahwa pemilu dilaksanakan dengan otot politik untuk memenangkan pasangan calon tertentu. Sak wasangka tentang peran Presiden Jokowi untuk memenangkan pasangan calon presiden nomor dua, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming, amat mengental.
Mereka berasumsi bahwa pemaksaan Gibran menjadi calon wakil presiden, menempuh berbagai kiat yang menggunakan otot kekuasaan dan pat gulipat hukum yang di luar nalar sehat untuk memahaminya.