PERAYAAN Natal 2023 menghadirkan kehangatan di tengah peningkatan eskalasi politik menjelang tahun 2024.
Tema Natal yang diangkat oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dan Konferensi Waligereja di Indonesia, "Kemuliaan bagi Allah dan Damai Sejahtera di Bumi", membawa kita merenungkan sejenak, sudahkah kita berhasil mengejawantahkan relasi baik dengan Sang Pencipta ke dalam kehidupan bersama sesama masyarakat?
Apakah kita berhasil menjadi pembawa damai selama masa pergantian kekuasaan ini? Atau justru kita turut terlibat melahirkan konflik dan perpecahan?
Demikian pula menjadi renungan apakah dengan kekuasaan dan jabatan yang dimiliki, kita menjadi semakin mampu melayani dan membawa manfaat bagi rakyat? Atau justru kita malah terbuai lalu mementingkan kepentingan pribadi dan golongan?
Pemilihan umum sebagai pesta demokrasi berubah menjadi arena perebutan kekuasaan yang selalu berulang setiap 5 (lima) tahun sekali. Narasi rakyat sebagai subjek dalam pemilihan umum terus menerus diangkat para elite.
Berbagai bentuk gimik ditawarkan atas dasar relevansi zaman, tanpa mengingat fakta sejarah yang pernah terjadi. Pada akhirnya, rakyat tetap menjadi objek semata, didekati untuk mendapat suaranya, dilupakan ketika sudah mendapat jabatan dan kekuasaan.
Pemilihan umum yang dihadapi oleh bangsa Indonesia seharusnya mampu menjadi pemicu yang mendorong para politisi dan pejabat untuk menghadirkan damai sejahtera di Indonesia.
Damai yang tidak hanya berada di dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi juga di dalam setiap lubuk hati rakyat Indonesia.
Kedamaian tersebut tentu lahir dari proses politik sehat, melalui kompetisi ide, gagasan, dan program, bukan melalui persaingan tidak sehat dan yang dapat menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.
Kedamaian bagi rakyat seharusnya jauh melebihi hal-hal tersebut. Kedamaian bagi rakyat tidak seharusnya hanya dihadirkan setiap 5 (lima) tahun sekali.
Pemilihan umum memang ajang persaingan. Persaingan ide, visi, misi, gagasan, dan program guna merebut suara rakyat menuju jabatan dan kekuasaan.
Jika diadakan pengumpulan data, mungkin akan ditemukan jutaan janji yang ditawarkan oleh para peserta pemilu, baik eksekutif maupun legislatif, kepada rakyat dalam setiap kampanyenya.
Pertanyaannya, berapa banyak yang ditepati dan dilaksanakan? Padahal rakyat tidak sekadar terbuai, mereka sejatinya menaruh harap atas janji-janji tersebut.
Janji kampanye melahirkan harapan atas tempat tinggal, kepastian pendapatan, kemudahan bekerja, akses pendidikan, masa tua yang terjamin, perbaikan iklim, fasilitas sosial, infrastruktur, dan jutaan harapan lain dalam benak hati kaum Marhaen Indonesia.
Bagaimana jika janji-janji tersebut dilupakan ketika jabatan dan kekuasaan sudah diraih? Rakyat hanya bisa diam, kembali bersama kesulitannya sehari-hari, kembali dalam imajinasinya mengandaikan pemenuhan janji-janji tersebut, kembali berharap akan adanya perubahan pada pemilihan umum selanjutnya.