JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat melontarkan ide agar komposisi sembilan hakim konstitusi saat ini barangkali perlu dirombak.
Hal ini buntut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang secara kontroversial membolehkan pejabat hasil pemilu maju sebagai capres-cawapres meski belum memenuhi ketentuan usia minimum 40 tahun.
"Dalam benak saya, terakhir-terakhir ini mengatakan, sepertinya kok Mahkamah Konstitusi sembilan-sembilan hakimnya kok harus di-reshuffle. Sampai pada titik itu," kata Arief ketika dikonfirmasi Kompas.com pada Senin (30/10/2023).
Baca juga: Ada 18 Laporan, MKMK Imbau Warga Tak Lagi Laporkan Pelanggaran Etik Hakim MK
Hakim konsitusi aktif itu menyampaikan, hal ini berkaitan dengan muruah lembaga yang seharusnya bertugas mengawal konstitusi itu, yang kini dianggap ada di titik nadir.
"Karena kebuntuan saya, bagaimana harus menjaga muruah ini. Dalam hati saya mengatakan itu (perlu reshuffle)," kata dia.
Ia khawatir, MK saat ini tidak bisa melalui berbagai kritik publik akibat putusan yang dianggap sarat konflik kepentingan tersebut.
Sementara itu, MK nantinya akan bertugas mengadili sengketa/perselisihan hasil pemilihan umum.
"Apa iya ya, kita mampu pulih, Kalau tidak mampu pulih, apa kita memang bersembilan memang harus di-reshuffle," kata Arief.
Bila memang reshuffle menjadi pilihan yang dikehendaki publik, Arief mengaku siap dan ia berharap agar delapan hakim konstitusi lainnya juga memiliki kesiapan yang sama.
Apalagi, MK didirikan 20 tahun lalu sebagai amanat reformasi yang menginginkan Indonesia terbebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.
"Kalau ini keinginan bangsa Indonesia untuk me-reshuffle, bagi saya ya saya kira tidak apa-apa," kata dia.
Baca juga: MKMK Sudah Terima 18 Laporan Pelanggaran Etik Hakim MK soal Putusan Usia Capres-cawapres
"Mahkamah Konstitusi itu anak kandung dari reformasi yang mencoba menjadi penafsir konstitusi dalam rangka menghilangkan korupsi, kolusi dan nepotisme. Ini harus diberantas, ini tidak boleh lagi hidup di Indonesia. Tapi kok ini ada kecenderungan ke situ," pungkas Arief.
Sebagai informasi, dugaan pelanggaran kode etik hakim konstitusi ini mengemuka setelah MK yang diketuai ipar Presiden Joko Widodo, Anwar Usman, mengabulkan gugatan terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden (capres-cawapres) pada Senin (16/10/2023) lewat putusan yang kontroversial.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK merumuskan sendiri norma bahwa seorang pejabat yang terpilih melalui pemilu dapat mendaftarkan diri sebagai capres-cawapres walaupun tak memenuhi kriteria usia minimum 40 tahun.
Putusan ini pun menjadi tiket untuk putra sulung Jokowi yang juga keponakan Anwar, Gibran Rakabuming Raka, melaju pada Pilpres 2024 dalam usia 36 tahun berbekal status Wali Kota Solo yang baru disandangnya 3 tahun.
Tak lama berselang usai putusan itu, Gibran secara aklamasi disepakati Koalisi Indonesia Maju (KIM) maju sebagai bakal cawapres pendamping Prabowo Subianto sejak Minggu (22/10/2023) dan telah didaftarkan sebagai bakal capres-cawapres ke KPU RI, Rabu (25/10/2023).
Anwar membantah dirinya terlibat konflik kepentingan dalam memutus perkara ini, meski pendapat berbeda (dissenting opinion) hakim konstitusi yang tak setuju putusan nomor 90 itu mengungkap bagaimana keterlibatan Anwar mengubah sikap MK dalam waktu pendek.
Baca juga: Besok, Anwar Usman Diperiksa Majelis Kehormatan MK
Arief menjadi salah satu hakim konstitusi yang paling lantang berseberangan dengan mayoritas hakim dalam putusan itu.
Ia pun dilaporkan ke Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang dibentuk untuk mengusut pelanggaran etik dalam perkara ini, meskipun laporan pelanggaran etik terbanyak masih dipegang oleh Anwar Usman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.