JAKARTA, KOMPAS.com - Perjuangan dalam masa kemerdekaan tidak hanya dilakukan dengan cara mengangkat senjata. Sejumlah tokoh menempuh jalan tanpa kekerasan melalui radio buat mengabarkan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Pada saat itu, pembacaan teks Proklamasi Kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur nomor 56, Jakarta, oleh Soekarno sama sekali tidak direkam dan disiarkan.
Pembacaan itu dilakukan di depan massa yang dilanjutkan dengan upacara bendera Merah Putih.
Berita tentang pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia itu kemudian diteruskan melalui berbagai media. Yakni media cetak dan radio.
Baca juga: Maria Duchateau, Si Nyonya Belanda Pemikat Hati Sutan Sjahrir
Ketika itu pemberitaan tentang proklamasi melalui siaran radio yang paling diandalkan karena daya jangkaunya. Akan tetapi, para pejuang mesti kucing-kucingan dengan aparat pemerintah pendudukan Jepang yang ketika itu masih bercokol di Indonesia.
Pemerintah pendudukan Jepang saat itu juga memberlakukan sensor dan pembatasan penerimaan siaran radio yang bisa ditangkap masyarakat.
Seluruh perangkat radio yang dijual di masyarakat sudah disegel oleh pemerintah pendudukan Jepang. Mereka juga memutus siaran berita dari luar negeri.
Dalam buku Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya disebutkan, saat itu sang dia mempunyai sebuah radio tak bersegel yang didapat dari Chairil Anwar dan Des Alwi.
Chairil Anwar merupakan keponakan Sjahrir. Chairil dan sang ibu, Saleha, pernah tinggal di rumah Sjahrir.
Baca juga: Diplomasi Sutan Sjahrir dalam Memperjuangkan Kemerdekaan RI
Sjahrir juga yang memberikan modal kepada Chairil dan Des Alwi berjualan barang bekas. Dari jual beli itulah Chairil mendapatkan sebuah perangkat radio merek Philips yang tidak disegel dan diberikan kepada sang paman.
Pada 14 Agustus 1945 petang, Sjahrir menyalakan radio itu dan mendengar siaran berita dari luar negeri yang mengabarkan pemerintah Kekaisaran Jepang menyerah kepada Sekutu setelah Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Bom itu dijatuhkan masing-masing pada 6 Agustus dan 9 Agustus 1945.
Setelah mendengarkan siaran itu, Sjahrir mengabarkan informasi itu kepada anggota kelompok perjuangan bawah tanah.
Baca juga: Sutan Sjahrir: Masa Muda, Kiprah, Penculikan, dan Akhir Hidup
Siaran itu disebarkan ke Cirebon, Garut, dan Semarang. Berita itu juga yang membuat tokoh pemuda seperti Chairul Saleh, Sukarni, Wikana dan lain-lainnya yang kerap berkumpul di asrama Menteng 31 mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Sjahrir merasa ini adalah momentum yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan RI. Dengan menyerahnya Jepang kepada Sekutu, terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia.