JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa terbitnya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 tidak hanya menjadi penanda dinamika kehidupan politik di Tanah Air.
Pemerintahan Presiden Soeharto juga menggunakan momentum peringatan Hari Dekrit Presiden atau Hari Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 buat meresmikan Bandar Udara Soekarno-Hatta.
Seperti dikutip dari surat kabar Kompas, peresmian Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng dilakukan pada 5 Juli 1985.
Saat itu wilayah Bandara Soekarno-Hatta dari Provinsi Jawa Barat. Kini setelah pemberlakuan otonomi daerah pemekaran wilayah, bandara itu masuk ke dalam wilayah Kota Tangerang, Provinsi Banten.
Baca juga: Arti Penting Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Yang unik dalam proses peresmian itu, nama bandara masih dirahasiakan sampai hari H.
Pembuat prasasti peresmian bandara juga menolak berkomentar saat ditanyai tentang nama bandara itu.
Hanya saja proses peresmian memang sengaja mengambil momentum peringatan dekrit Presiden, sebagai wujud penghormatan terhadap sosok Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, serta mengingat keputusan kembali memberlakukan UUD 1945.
Sebelum peresmian dilakukan, otoritas bandara sudah memberikan pemberitahuan atau notice to airmen (notam) yang menyatakan bandara akan ditutup pada hari H.
Maka dari itu sejumlah maskapai yang menjadwalkan penerbangan pada hari itu diminta mengatur ulang.
Baca juga: Dekrit Presiden 5 Juli 1959: Latar Belakang, Isi, Tujuan, dan Dampak
Presiden Soekarno menerbitkan dekrit yang terdiri dari 3 perintah. Pertama adalah membubarkan Konstituante.
Kedua, menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang berlaku bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan dekrit, dan tidak berlakunya lagi UUD Sementara (UUDS) 1950.
Ketiga, pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), terdiri atas anggota DPR ditambah utusan dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).
Dekrit diterbitkan karena kondisi politik Indonesia saat itu tidak kunjung stabil pasca Pemilihan Umum 1955.
Baca juga: Teks Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Setelah pemilu perdana itu, praktik demokrasi parlementer di Indonesia diwarnasi oleh persaingan politik yang tajam. Hal itu menyebabkan usia kabinet tidak pernah bertahan lama.
Selain itu, Dewan Konstituante yang dibentuk dari hasil Pemilu 1955 tidak berhasil melaksanakan tugas buat menyusun konstitusi baru.