JAKARTA, KOMPAS.com - Penyebab pasti kelangkaan minyak goreng masih menjadi misteri. Berbagai spekulasi pun dikemukakan untuk menjelaskan "hilangnya" pasokan minyak goreng di pasaran, termasuk salah satunya adalah praktik "panic buying" oleh masyarakat.
Masalah minyak goreng di Indonesia sendiri sudah cukup panjang. Bermula saat harga minyak goreng yang terus meroket naik hingga berbulan-bulan lamanya sehingga meresahkan warga.
Tingginya harga minyak goreng disebut-sebut lantaran lonjakan harga crude palm oil (CPO) dunia.
Pada akhirnya, pemerintah menerapkan kebijakan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng seharga Rp 14.000 per liter mulai awal Februari 2022. Namun setelah ada kebijakan pemerataan harga, minyak goreng menjadi langka di pasaran.
Akibat kelangkaan ini, banyak terjadi kericuhan di sejumlah daerah karena warga berebut minyak goreng ketika ada pasokan.
Baca juga: Harga Minyak Goreng di Kendari Meroket, 2 Liter Tembus Rp 135.000
Mendag Muhammad Luthfi menduga ada oknum-oknum yang mempermainkan minyak goreng sehingga menyebabkan masyarakat masih kesulitan mendapatkan minyak goreng.
Mulai dari kemungkinan penyelundupan ke luar negeri, penimbunan, hingga dijual ke industri.
Padahal seharusnya pasokan minyak goreng di Indonesia aman setelah pemerintah menerapkan kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).
Kebijakan ini diambil oleh Kementerian Perdagangan untuk memastikan pasokan bahan baku minyak goreng stabil.
Lewat kebijakan DMO dan DPO, seluruh eksportir wajib memasok atau mengalokasikan 20% dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RDP Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp10.300/kg.
Selama satu bulan ini, produsen minyak sawit mentah telah memenuhi kebijakan DMO dengan memasok sebanyak 351 juta liter untuk kebutuhan minyak goreng dalam negeri.
Namun faktanya, stok minyak goreng masih sulit ditemukan di pasaran.
Baca juga: Gelar Operasi Pasar Murah, Ibas Salurkan 16 Ton Minyak Goreng di Ngawi
Inspektur Jenderal Kemendag, Didi Noordiatmoko mengatakan saat ini muncul persoalan baru yang merupakan dampak dari kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng sebelumnya.
Persoalan baru itu adalah "panic buying" (beli dalam jumlah besar) yang dilakukan masyarakat.
Tren masyarakat disebutnya saat ini membeli minyak goreng yang harganya sudah turun dengan jumlah banyak, melebihi kebutuhan.
Panic buying terjadi karena masyarakat sempat kesulitan mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau, sehingga ketika mendapatkan kesempatan, mereka lalu panic buying.
Padahal hasil riset menyebutkan kebutuhan minyak goreng per orang hanya 0,8-1 liter per bulan. Artinya, kini banyak rumah tangga menyetok minyak goreng.
“Tapi ini baru terindikasi,” kata Didi Noordiatmoko saat kunjungan kerja ke Palembang seperti dikutip dari Antara, Minggu (6/3/2022).
Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi menyinggung hal serupa. Ia lalu mengimbau masyarakat agar tidak melanjutkan tren panic buying.