JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menilai, proses hukum terkait masalah penodaan agama masih menggunakan pendekatan favoritisme.
Misalnya, dengan mengandalkan fatwa dari organisasi keagamaan tertentu dalam proses hukum seseorang yang dikenai pasal penodaan agama.
Hal ini yang dinilainya semakin membuat jaminan kemerdekaan beragama dan berkeyakinan menjadi buruk.
"Misalnya, fatwa MUI dijadikan dasar untuk memidanakan orang dalam banyak kasus," kata Asfinawati dalam diskusi Outlook Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan di Indonesia 2020 di kantor YLBHI, Jakarta, Selasa (28/1/2020).
Baca juga: Komnas HAM Sebut Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP Masih Multitafsir
Ia menyatakan, fatwa semacam itu tidak punya kekuatan hukum karena dikeluarkan oleh organisasi di luar lembaga pemerintahan atau lembaga negara.
Selain itu, ia memandang, setiap organisasi keagamaan memiliki fatwa masing-masing yang memiliki derajat sama.
"Kita kan mempertanyakan mengapa tidak menggunakan fatwa NU, atau fatwa Muhammadiyah atau fatwa PGI, semuanya itu kan punya posisi yang sama," kata dia.
Baca juga: Usai Kunjungi Meiliana, PSI Ingin Cabut UU Penodaan Agama
Sehingga, kata dia, praktik seperti itu membuat kepolisian, kejaksaan dan hakim cenderung tidak mampu bersikap mandiri dalam menegakkan hukum dan keadilan.
"Di dalam hukum, itu memang diambil sebagai bukti orang bersalah dan kalau kita ingat fatwa itu ada yang muncul setelah peristiwa. Jadi ada orang yang melakukan sebuah kegiatan yang dianggap penodaan agama kemudian dimintai fatwanya. Artinya fatwa yang dijadikan bukti itu, itu belakangan," kata dia.
"Dalam penodaan agama, logika hukum hakim, polisi dan jaksa mandek, karena terbiasa melakukan pengutamaan terkait fatwanya," tutur Asfinawati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.