JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur Eksekutif Jurnal perempuan Atnike Nova Sigiro menyebutkan, terorisme masuk dan mengakar ke dalam sistem keluarga para pelaku teror.
Tak heran jika perempuan juga bisa menjadi pelaku, tidak sebatas menjadi target perekrutan doktrin radikal.
“Sekarang dia (perempuan) sudah aktif menjadi pelaku, itu nggak bisa dilepaskan dari keputusan suaminya juga atau suaminya terlibat dalam kekerasan,” ucapnya di Kantor Kontras, Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Baca juga: Tren Penggunaan Perempuan dalam Aksi Terorisme Harus Ditekan
Nova mengatakan, doktrin kepatuhan di tengah budaya patriarki dalam masyarakat kelompok radikal juga melemahkan posisi tawar perempuan.
“Kalau pakai kacamata feminisme memang pada umumnya perempuan pada posisi ditentukan oleh masyarakat, khususnya oleh laki-laki. Jadi dia (mengikuti) apa yang diputuskan oleh keluarganya dalam hal ini kepala keluarga atau suami,” tuturnya.
Nova melanjutkan, program deradikalisadi juga harus menyasar dalam kehidupan keluarga. Pemerintah seharusnya melakukan pendekatan dalam pemberdayaan keluarga, kepada istri dan anak.
Baca juga: Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme Harus Diatur Lebih Detail
Seperti diketahui, dalam rangkaian teror belakangan ini, ada sejumlah perempuan yang terlibat atau berusaha melakukan aksi terorisme.
Pasca peristiwa Mako Brimob, aparat kepolisian pernah mengamankan dua orang perempuan yang diduga akan melakukan aksi penusukan terhadap anggota Brimob di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, Sabtu (12/5/2018).
Sementara dalam teror Surabaya, seorang istri dan dua anak perempuan terlibat dalam aksi pengeboman terhadap tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga: 3 Alasan Aksi Teror di Surabaya Libatkan Perempuan dan Anak-anak
Sementara itu, seorang istri juga terlibat dalam serangan teror di Polrestabes Surabaya. Di sisi lain, seorang anak perempuan yang sempat dilibatkan dalam aksi teror tersebut telah berhasil dilindungi oleh aparat dan menjalankan perawatan lebih lanjut.