PEMILIHAN Presiden 2019 makin mendekat dan ingar-bingar makin riuh. Dunia media baik media konvensional maupun media sosial bergairah menjadi ajang kebisingan terkait Pilpres 2019.
Presiden petahana yang berhak untuk dipilih ulang bakal menghadapi tantangan dari pesaing.
Pilpres 2019 yang dilaksanakan di era teknologi, akan menjadi saksi pemanfaatan teknologi untuk menarik perhatian dan menundukkan para pemilih. Tetapi itu bukan satu-satunya jalan.
Dengan keterbukaan informasi jaman sekarang di mana prestasi tercatat dan terekam baik, maka cara manjur menundukkan para pemilih adalah kemungkinan jalan pintas tanpa repot adu keahlian atau program, yaitu propaganda dengan memanfaatkan teknologi.
Kasus Trump
Banyak cerita tentang Pilpres di mana pun. Perjalanan Presiden Trump misalnya, tidak selancar yang dibayangkan ketika dia sudah terpilih menjadi presiden sekarang.
Tahun 2000, Trump pernah nyaris mencalonkan diri jadi Presiden AS tapi memutuskan mundur dari pencalonan.
Trump mundur meski sudah berniat menggandeng bintang televisi Oprah Winfrey sebagai wapresnya dan mengumumkan menikahi teman wanitanya untuk menjadi first lady. Dia mundur karena perpecahan internal Reform Party.
Baru pada Pilpres 2016 Trump kemudian memenangkan Pemilu dan berhasil meski penuh kontroversi.
Hebohnya kontroversi ini yang justru membuat kampanye Trump justru mendapat liputan luas di media-media utama, menjadi trending topics, dan merambah media sosial.
Media utama, trending topics, dan media sosial terjebak memublikasikan kontroversi dan menyebarkannya meski dengan nada menentang bahkan benci.
Beberapa kontroversi, misalnya saja bentrokan antara pendukung Trump dan pemrotes anti-Trump dan perlakuan kasar terhadap wartawan.
Berbagai bentrokan ini menimbulkan tudingan bahwa Trump sengaja memancing kekerasan dalam kampanye-kampanyenya.
Mengabaikan etika politik
Tetapi kontroversi paling tidak disukai orang adalah sikap Trump yang melecehkan pentingnya political correctness, ketulusan dalam berpolitik.