JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Setara Institute Hendardi menilai berbagai kekerasan bernuansa agama yang belakangan terjadi disebabkan karena menguatnya politisasi agama untuk kepentingan tertentu atau kekuasaan.
Politisasi agama tersebut kemudian berwujud bentuk intoleransi, persekusi, dan diskriminasi.
"Politisasi agama atau identitas adalah cara paling buruk untuk meraih kekuasaan," ujar Hendardi dalam konferensi pers di Hotel Atlet Century, Jakarta, Selasa (20/2/2018).
Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Setara Institute mengajak 186 tokoh masyarakat dari berbagai latar belakang sosial untuk menyerukan seruan moral dalam menjaga dan memperjuangkan nilai keberagaman.
Menurut Hendardi, berbagai kasus kekerasan bernuansa agama yang marak pada awal tahun ini di berbagai daerah merupakan ancaman serius terhadap kebhinekaan.
Pada awal Februari lalu terjadi kasus persekusi terhadap Biksu Mulyanto Nurhalim dan pengikutnya di Desa Caringin Kecamatan Legok Kabupaten Tangerang.
Kemudian, terjadi serangan di Gereja St. Ludwina Desa Trihanggo Kecamatan Gamping Kabupaten Sleman pada 11 Februari 2018, yang menyebabkan soerang pastor dan pengikutnya mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam.
(Baca juga: Kekerasan Bernuansa Agama Jadi Ancaman Keberagaman)
Sebelumnya juga terjadi dua serangan terhadap tokoh agama, yaitu ulama, tokoh NU, dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayah Cicalengka Bandung, KH. Umar Basri dan ulama sekaligus Pimpinan Pusat Persis, H. R. Prawoto.
Prawoto dianiaya orang tak dikenal pada Kamis (1/2/2018) hingga nyawanya tak dapat diselamatkan dan meninggal dunia.
"Berbagai serangan fisik terhadap tokoh-tokoh berbagai agama dan persekusi terhadap minoritas keagamaan, dan banyak dimensi lain dari kekerasan yang terjadi, menunjukkan adanya ancaman serius terhadap kebhinekaan," tuturnya.
Oleh sebab itu Hendardi meminta para politisi untuk tidak memakai isu SARA (suku, agama ras dan antargolongan) dalam kontestasi Pilkada 2018 dan Pemilu 2019.
Ia menegaskan bahwa sentimen SARA hanya menimbulkan perpecahan di tengah kehidupan masyarakat.
"Secara aktual seruan moral kebhinekaan ini juga ditujukan untuk mengingatkan semua pihak yang berkontes dalam Pilkada dan Pemilu 2019 untuk tidak menggunakan sentimen sara dalam berkampanye karena dampak dari itu adalah kohesi sosial kita yang terkoyak-koyak," kata Hendardi.