JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum internasional Hikmahanto menganggap TNI perlu mengambil peran dalam menggempur Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Filipina bagian selatan.
Pasalnya, Indonesia menjadi salah satu negara yang terancam disusupi anggota kelompok militan Filipina yang terafiliasi dengan ISIS.
"Sebenarnya ISIS itu tidak hanya ancaman bagi satu negara saja, Filipina saja, tapi kan ancaman bersama. Tentu ISIS juga jadi ancaman bagi Indonesia," ujar Hikmahanto saat dihubungi, Kamis (22/6/2017).
Menurut Hikmahanto, pemerintah harus mendukung keterlibatan Indonesia, khususnya TNI, dalam operasi tersebut.
(Baca: Wiranto: Indonesia Siap Bantu Filipina Gempur ISIS di Marawi)
Terutama, Presiden Joko Widodo sebagai pemegang kebijakan.
Ia mengatakan, memberantas ISIS merupakan tugas bersama negara-negara ASEAN yang merupakan negara tetangga Filipina.
Kerja sama ini sebelumnya pernah digalakkan saat negara ASEAN sepakat melawan komunisme.
"Sekarang ada ancaman baru dan menurut saya Presiden perlu merespons secara positif," kata Hikmahanto.
"Karena TNI tidak akan bisa bergerak kalau presiden tidak setuju," lanjut dia.
Presiden bisa langsung menugaskan TNI dengan membuat surat instruksi. Selain itu, jika diperlukan, harus ada persetujuan DPR RI untuk berpartisipasi dalam operasi tersebut.
"Karena dianggap sebagai perang melawan ISIS. Mungkin juga diperlukan izin DPR karena keputusan politik kita ikut atau tidak ikut," kata Hikmahanto.
Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan, Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengizinkan Indonesia terlibat dalam operasi militer untuk menggempur ISIS di Marawi, Filipina Selatan.
Operasi tersebut bertujuan untuk mencegah penyebaran kekuatan kelompok teroris yang berafiliasi dengan ISIS.
(Baca: Teroris Kabur, Penyanderaan di Selatan Marawi Berakhir)
"Presiden Filipina Duterte sudah mengiyakan. Saya sudah bertemu Presiden Filipina dan Menhan Filipina. Dia dukung penuh, silahkan saja katanya," ujar Ryamizard.
Ryamizard mengatakan, rencana operasi militer tersebut masih menunggu pembentukan payung hukum yang tepat.
Berdasarkan hukum Filipina, operasi militer yang melibatkan negara lain harus mendapatkan persetujuan dari unsur parlemen, meski presiden sudah menyetujui.
"Sedang kami pikirkan karena payung hukumnya belum ada. Walaupun Presiden mengiyakan, tapi itu kan presiden, yang lain kan, seperti kongres belum tentu," kata Ryamizard.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.