Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontras Pertanyakan Dasar Penahanan Ahok

Kompas.com - 10/05/2017, 09:52 WIB
Moh. Nadlir

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara diminta untuk menjelaskan alasan penahanan Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ahok divonis hukuman 2 tahun penjara  atas kasus dugaan penodaan agama. Perbuatan Ahok dinilai memenuhi unsur Pasal 156a KUHP.

"Saya tidak tahu alasan hakim langsung memerintahkan penahanan. Walaupun itu sah-sah saja dilakukan hakim. Tapi memang ini agak berbeda," kata Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia kepada Kompas.com, Rabu (10/5/2017).

"Kalau sedari awal prosesnya tidak ditahan ya tidak ditahan," ujarnya.

Terlebih kata Putri, putusan Ahok belum berkekuatan hukum tetap. Sehingga, ia menanyakan apakah penahanan itu perlu atau tidak untuk dilakukan.

"Jadi perlu dipertanyakan, sejauh mana penahanan Ahok itu perlu dilakukan. Kan ada syaratnya. Takut melarikan diri, takut melakukan hal yang sama. Apakah ukuran-ukuran itu sudah dikaji hakim sehingga memutuskan untuk ditahan," kata dia.

Meski demikian, ia mengakui hal itu adalah hak prerogatif hakim. Tapi ia berharap sudah ada pertimbangan-pertimbangan yang mendasari keputusan itu diambil oleh hakim.

"Prinsipnya jangan sampai putusan yang dikeluarkan hakim bertentangan dengan hak seseorang. Apalagi yang putusannya belum berkekuatan hukum tetap, masih ada banding, kasasi, peninjauan kembali (PK) dan lainnya," ujar Putri.

(Baca juga: Ahok Menyatakan Banding, PN Jakut Dinilai Tak Berwenang Perintahkan Penahanan)

Sebelumnya, majelis hakim memerintahkan agar Ahok ditahan karena terbukti melakukan tindak pidana penodaan agama. Perbuatan Ahok dinilai memenuhi unsur Pasal 156a KUHP.

Vonis hakim ini lebih berat dari tuntutan jaksa. Jaksa sebelumnya menuntut Ahok dengan hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 2 tahun.

Selama proses persidangan, berbagai macam saksi telah dihadirkan, di antaranya saksi pelapor, saksi ahli, saksi fakta, dan juga saksi meringankan yang dibawa oleh pengacara Ahok.

Jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif antara Pasal 156 huruf a KUHP atau Pasal 156 KUHP.

Pasal 156 KUHP berbunyi, "Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500".

Sedangkan isi Pasal 156a KUHP adalah, "Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia".

Kompas TV Menakar Vonis Penjara Ahok (Bag 1)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak ada Rencana Bikin Ormas, Apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Tak Dianggap Kader PDI-P, Jokowi dan Keluarga Diprediksi Gabung Golkar

Nasional
Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Prabowo Harap Semua Pihak Rukun meski Beda Pilihan Politik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com