JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta pemerintah tidak antikritik. Sikap antikritik, kata dia, membuat pemerintah dengan mudah menggunakan aparat penegak hukum untuk menangkap pihak yang dianggap bersebrangan.
Hal itu disampaikan Fahri menanggapi penangkapan Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath oleh Polisi. Al-Khaththath ditangkap karena diduga terlibat pemufakatan makar.
"Dalam demokrasi itu, orang ribut itu hari-hari. Kalau Anda enggak mau ribut-ribut, jangan demokrasi. Demokrasi memang negara ribut. Kalau negara senyap, negara otoriter, itu ada di Korea Utara," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (31/3/2017).
(Baca: Soal Penahanan Sekjen FUI Al-Khaththath, Polisi Tunggu Hasil Pemeriksaan)
Ia menambahkan rapat merancang demonstrasi bukanlah tindak pidana makar. Sebab dalam negara demokrasi, setiap warga negara berhak menyampaikan kritik kepada pemerintah sepanjang tidak anarkistis.
Apalagi, sejak era reformasi, pasal makar sudah sangat lama tidak digunakan. Ia pun menyayangkan Polisi yang kembali menggunakan pasal tersebut.
Fahri mengatakan, penggunaan pasal makar harus disertai bukti yang riil, sehingga tidak menjadi karet pengertiannya.
"Kecuali dia bawa parang, bawa senjata yang ditembakan ke atas sambil teriak ingin menggulingkan pemerintahan, misalnya begitu. Nah itu boleh. Dilumpuhkan juga boleh. Itu namanya tangkap tangan. Alat bukti dan pelaku ada di satu tempat," tutur Fahri.
(Baca: Fadli Zon: Pemerintah Jangan Menakuti Warga yang Ingin Berunjuk Rasa)
"Kuping itu harus tebal kalau demokrasi. Kalau Kuping tipis jangan hidup di Indonesia. Suruh ke Korea Utara sana. Jadi rakyatnya Kim Jong Un, cocok itu. Begitu Presiden lewat tepuk tangan semua," lanjut Fahri.
Sekretaris Jenderal Forum Umat Islam (FUI) Muhammad Al-Khaththath ditangkap polisi pada Kamis (31/3/2017) malam di Hotel Kempinski, Jakarta Pusat.
Al-Khaththath dan empat orang lainnya ditangkap setelah diduga melakukan pertemuan untuk melakukan pemufakatan makar.