Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denny Indrayana
Guru Besar Hukum Tata Negara

Advokat Utama INTEGRITY Law Firm; Guru Besar Hukum Tata Negara; Associate Director CILIS, Melbourne University Law School

Pertarungan Syarat Menjadi Presiden

Kompas.com - 12/01/2017, 10:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Catatan Kamisan minggu ini masih kelanjutan dari apa yang saya tulis minggu lalu, khususnya yang berkait dengan peraturan kepemiluan yang harus dipersiapkan menjelang Pemilihan Umum 2019.

KOMPAS.com — Aturan kepemiluan kita memang tidak pernah ajeg, selalu mengalami perubahan. Benar belaka bahwa suatu aturan hukum tidak boleh baku, dia harus punya ruang elastisitas.

Betul pula bahwa suatu aturan hukum janganlah statis, dia harus mampu dinamis. Tidak keliru bahwa aturan hukum bukan dokumen sakral yang tidak boleh diubah. Justru, aturan perubahan adalah salah satu bagian yang harus ada dalam setiap konstitusi, hukum dasar suatu negara.

Namun, aturan kepemiluan kita nyaris selalu berubah setiap menjelang pemilu. Sesuatu yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Ketika saya bicara pemilu, maka yang saya maksud adalah paket undang-undang yang terkait: penyelenggara pemilu, pemilihan presiden, pemilihan anggota parlemen pusat dan daerah, dan pemilihan kepala daerah.

Di luar itu terkait sengketa hasil pemilu, kita juga bolak-balik mengubah bahwa yang berwenang menyelesaikan sengketa adalah antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Pada saatnya, kita harus menghentikan ritual perubahan UU kepemiluan setiap lima tahunan tersebut, apalagi jika lebih singkat dari itu. Jangan lagi terjadi sebagaimana UU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang diubah pada tahun 2014, lalu diubah lagi dengan perppu beberapa saat kemudian untuk mengembalikan sistem pemilihan kepala daerah langsung, yang menjadi UU Nomor 1 Tahun 2015, yang lalu diubah lagi dua kali dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 dan Nomor 10 Tahun 2016.

Itu artinya, dalam waktu kurang dari dua tahun, UU Pilkada kita berubah minimal tiga kali. Perubahan yang terlalu sering itu menunjukkan tingginya tekanan politik jangka pendek dalam setiap aturan kepemiluan.

Namun, tidak semua perubahan UU terkait pemilu hanya berdasarkan pertimbangan politik jangka pendek. Beberapa harus dilakukan karena alasan dan kewajiban hukum.

Salah satunya adalah karena putusan Mahkamah Konstitusi yang harus dijalankan dalam bentuk perubahan UU. Misalnya, putusan MK nomor 14/PUU-XI/2013 menegaskan konstitusionalitas pelaksanaan pilpres dan pileg hanya jika dilaksanakan bersamaan, yang harus dilaksanakan sejak Pemilu 2019.

Putusan MK demikian tentu membutuhkan perubahan UU Pilpres dan Pileg. Salah satu yang pasti akan menjadi perdebatan hangat adalah terkait syarat ambang batas menjadi presiden (presidential threshold). Sebagaimana kita paham, isu ambang batas ini adalah salah satu masalah yang selalu menjadi bahan pertarungan setiap UU terkait pilpres dirumuskan.

Partai-partai besar cenderung mempertahankan ambang batas syarat presiden yang tinggi, tentu dengan maksud mengurangi kandidat presiden.

Sebaliknya, partai-partai kecil, ataupun partai yang baru terbentuk, selalu akan berjuang bagi hilangnya atau minimal turunnya ambang batas tersebut agar mereka punya kesempatan mengajukan calon presiden.

Satu catatan tengah terkait pencalonan presiden ini, UUD 1945 secara eksplisit memberikan kewenangan pencapresan hanya kepada partai politik atau gabungan partai politik. Konstitusi kita tidak mengenal capres independen, sebagaimana dimungkinkan untuk kepala daerah.

Untuk mengubah itu, tidak ada cara lain kecuali dengan melakukan perubahan UUD 1945. Ada beberapa ahli hukum tata negara yang berpandangan, capres independen dimungkinkan melalui putusan MK. Saya tidak sependapat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Saksi Mengaku Pernah Ditagih Uang Pembelian Senjata oleh Ajudan SYL

Nasional
Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri Sita Aset Senilai Rp 432,2 Miliar Milik Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Pesawat Super Hercules Kelima Pesanan Indonesia Dijadwalkan Tiba di Indonesia 17 Mei 2024

Nasional
Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Daftar Sementara Negara Peserta Super Garuda Shield 2024, dari Amerika hingga Belanda

Nasional
Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Profil Haerul Amri, Legislator Fraksi Nasdem yang Meninggal Ketika Kunker di Palembang

Nasional
Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Demokrat Minta Golkar, Gerindra, PAN Sepakati Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

SYL Beli Lukisan Sujiwo Tejo Rp 200 Juta Pakai Uang Hasil Memeras Anak Buah

Nasional
Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Anggota Komisi X DPR Haerul Amri Meninggal Saat Kunjungan Kerja

Nasional
Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Polri Desak Kepolisian Thailand Serahkan Fredy Pratama ke Indonesia Jika Tertangkap

Nasional
Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Jokowi Sebut 3 Hal yang Ditakuti Dunia, Wamenkeu Beri Penjelasan

Nasional
Soal 'Presidential Club', Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Soal "Presidential Club", Djarot PDI-P: Pak Prabowo Kurang Pede

Nasional
Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Polri Serahkan Kasus TPPU Istri Fredy Pratama ke Kepolisian Thailand

Nasional
Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Evaluasi Arus Mudik, Jokowi Setuju Kereta Api Jarak Jauh Ditambah

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com