Mengawali tahun 2017, Catatan Kamisan kali ini saya dedikasikan untuk membaca politik hukum di tanah air, utamanya menjelang Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2017 dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Kedua perhelatan politik itu saya anggap penting dan akan terus menjadi faktor penentu dinamika dan arah perjalanan bangsa ini ke depan.
Kita semua paham, bahwa ada 101 pemilihan kepala daerah di tahun 2017, Pilgub Jakarta hanyalah salah satunya. Namun, kita semua juga harus menerima kenyataan bahwa bobot politik Pilgub Jakarta memang berbeda dan lebih menjadi primadona pemberitaan dibandingkan 100 pilkada lainnya.
Tentu ada banyak faktor yang menentukan kenapa Pilgub Jakarta punya daya tarik lebih. Di samping memang politik dan ekonomi kita masih sangat Jakarta sentris, fakta politik yang dibangun setelah Gubernur Jakarta Joko Widodo berhasil menjadi Presiden Indonesia menyebabkan harga politik Jakarta pasti meningkat.
Sebenarnya ini adalah kegagalan pembangunan politik di tanah air, yang terlalu berpusat dengan Jakarta yang adalah pusat segalanya: ibukota negara, pusat politik pemerintahan, dan pusat dunia bisnis sekaligus.
Di banyak negara yang tingkat demokrasinya relatif lebih mapan, sebutlah Amerika Serikat dan Australia, menjadi gubernur dari ibu kota negara bukan berarti mempunyai nilai lebih lebih dibandingkan kepala daerah lainnya.
Bahkan, calon presiden tidak hanya datang dari posisi kepala daerah, tetapi juga anggota Senat (seperti Presiden Obama), atau bahkan pengusaha Donald Trump, presiden terpilih 2016 yang akan dilantik menjadi Presiden Amerika ke-45 pada 20 Januri 2017 yang akan datang.
Untuk Indonesia, kans politik Gubernur Jakarta tetap punya bobot lebih tinggi dibandingkan kepala daerah lainnya untuk menjadi presiden. Masih agak sulit membayangkan akan ada Gubernur di luar Jakarta, atau apalagi di luar Jawa, yang bisa melompat menjadi Presiden Indonesia.
Meski untuk masa depan, kita sudah melihat sosok Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, Walikota Surabaya yang digadang menjadi Gubernur Jawa Timur selanjutnya Tri Rismaharini, dan Walikota Bandung yang diperkirakan menjadi Gubernur Jawa Barat berikutnya Ridwan Kamil, sebagai sosok-sosok kepala daerah yang mulai muncul dan mungkin berpotensi menjadi calon presiden dari jalur tangga kepala daerah.
Tetapi, tetap saja, harga politik Gubernur Jakarta mempunyai kadar lebih dibandingkan daerah-daerah tersebut. Karena itu, mencermati Pilgub Jakarta 2017 dan kaitannya dengan Pilpres 2019, adalah hal yang tak terelakkan jika kita ingin membaca arah perjalanan bangsa ini ke depan, tidak terkecuali di bidang hukum.
Siklus politik
Adalah siklus politik bahwa Pilgub Jakarta selalu lebih awal dua tahun dari Pilpres. Dimulai dari Pilgub Jakarta 2007 yang berselang dua tahun dengan Pilpres 2009, lalu Pilgub 2012 dan Pilpres 2014, dan kini Pilgub 2017 lalu Pilpres 2019.
Namun, baru setelah Presiden Jokowi memenangkan Pilgub 2012 lalu Pilpres 2014, peta jalan Pilgub Jakarta sebagai tangga politik ke Istana Negara terlihat lebih jelas. Itulah yang menyebabkan pertarungan Pilgub 2017 kali ini menjadi lebih hangat, karena ia seakan-akan adalah pemanasan pertarungan politik menuju Pilpres 2019.
Siklus hangat dua tahunan antara Pilgub Jakarta dan Pilpres itu baru mungkin berakhir pada tahun 2024, itupun dengan catatan jika tidak ada perubahan lagi atas Undang-Undang tentang pilkada yang dalam rentang waktu dua tahun dari 2014 hingga 2016 ini telah dua kali mengalami perubahan.
Pasal 201 ayat (8) UU 10 Tahun 2016 tentang pilkada mengatur bahwa pilkada secara serentak nasional akan diselenggarakan di seluruh wilayah Indonesia pada November 2024. Beberapa bulan lebih awal, pemilu serentak untuk memilih presiden dan anggota legislatif juga telah dilaksanakan pada tahun yang sama.
Untuk selanjutnya, setiap lima tahun mulai tahun 2024, yang perlu di antisipasi adalah ketika terjadi pemilu serentak kepala daerah setiap bulan November, akan nyaris bersamaan waktunya dengan pelantikan presiden yang secara konvensi ketatanegaraan dilaksanakan setiap tanggal 20 Oktober.
Pergantian kepemimpinan nasional yang nyaris bersamaan waktunya dengan pilkada serentak nasional demikian tentu menghadirkan tantangan keamanan politik hukum yang tidak ringan, dan karenanya perlu diantisipasi secara baik.