KOMPAS.com — Kita mudah terkesima. Kemudahan kita terkesima itu mengantar sebagian dari kita pada puja-puja. Puja-puja kepada yang membuat kita terkesima itu kerap membuat kita lupa.
Soal payung dan Istana Merdeka, misalnya. Datang bergabungnya Presiden Joko Widodo dalam doa bersama 2 Desember 2016 di Silang Monumen Nasional (Monas) membuat kita terkesima.
Perhatian publik yang sejak pagi menyaksikan persiapan doa bersama ratusan ribu orang secara tertib dan terkoordinasi dengan baik dari berbagai daerah bahkan dengan berjalan kaki penuh nyali tercuri.
Sosok yang mencuri perhatian itu adalah lelaki berkemeja putih lengan panjang, bercelana hitam, dan berpeci.
Di luar itu semua, hal yang paling mencuri perhatian dan menjadi pembicaraan panjang di media sosial adalah soal payung warna biru yang dipegang Presiden Jokowi sendiri di tengah hujan.
(Baca: Jokowi Shalat Jumat di Monas, Foto Ini Ramai Dibagikan di Twitter)
Tercurinya perhatian di tengah keriuhan besar macam ini bukan hal baru.
Di ujung unjuk rasa 4 November 2016 lalu, saat Presiden Jokowi menggelar jumpa pers bersama sejumlah menterinya terkait unjuk rasa, media sosial juga riuh soal jaket boomber yang dikenakannya.
Tidak hanya terkait Presiden, sebenarnya keterkesimaan kita mudah hadir. Kita masih ingat saat teror mengguncang Jakarta pada 14 Januari 2016. Setelah puncak ketegangan terlampaui dan keadaan terkendali, publik di media sosial juga riuh dengan pakaian yang dikenakan para polisi.
Modal sosial yang baik sebenarnya. Keterkesimaan kita akan hal-hal baru yang menghibur macam ini bisa jadi penawar sejumlah ketegangan karena suatu persoalan.
Senyum bisa hadir dan persoalan yang tidak pergi tidak lagi dihadapi dengan berkerut kening.
Payung hitam di Istana
Namun, soal payung dan Istana Merdeka, ingatan saya tidak terlekat kepada Presiden Jokowi. Saya sempat terkesima dengan langkah berani Presiden Jokowi bergabung bersama ratusan ribu orang di seberang Istana Merdeka.
Akan tetapi, keterkesimaan itu tidak berlangsung lama. Setelah ratusan ribu peserta doa bersama 2 Desember 2016 berarak pulang seperti diminta Presiden Jokowi yang sebelumnya berterima kasih dan memberi penghargaan, ingatan saya tertuju kepada sosok lain.
Sosok itu adalah Sumarsih (64).