Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Buku Komunisme Disita di Pameran Internasional, Pemerintah Kekang Pengetahuan?

Kompas.com - 03/10/2016, 06:40 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pameran Indonesia International Book Fair di Jakarta Convention Center, Senayan, Sabtu (1/10/2016) sempat diwarnai penyitaan buku oleh polisi.

Empat orang dibawa Intelkam Polda Metro Jaya untuk diperiksa karena menjual enam buku berjudul Manifesto Komunis karangan Friedrich Engels dan Karl Marx dengan sampul bergambar palu-arit.

Kejadian ini bukan pertama kalinya sejak Pemerintah Orde Baru memberikan penegasan larangan penyebaran komunisme di Indonesia.

Namun, apakah tindakan penyitaan buku masih relevan dilakukan saat ilmu pengetahuan berkembang begitu pesat?

Peneliti politik dan keamanan dari PARA Syndicate, Fahri Huseinsyah, menyayangkan tindakan pihak kepolisian yang menyita buku-buku pada saat Indonesia menjadi tuan rumah pameran buku berskala internasional.

Menurut dia tindakan tersebut justru akan menjadi preseden buruk ketika ajang ilmiah serupa akan digelar.

(Baca: Polisi Amankan Buku "Manifesto Komunis" dan Penjualnya di Pameran JCC Senayan)

Fahri menilai buku apa pun yang bersifat ilmu pengetahuan diperjualbelikan dalam ajang pameran buku. Lagipula, kata Fahri, siapa pun tidak memiliki hak untuk mengekang ilmu pengetahuan.

Diseminasi pengetahuan dalam pameran buku sebaiknya dilihat sebagai satu metode bagi generasi muda dalam memahami komunisme.

Hal tersebut penting dilakukan agar generasi muda tidak sekedar menjadi anti-komunisme tanpa mengenal lebih dulu apa itu komunisme.

"Mana ada pengetahuan itu dikekang? Kan lucu. Pameran buku itu kan ajang ilmiah. Terutama penting untuk generasi muda kita yang masih minim tingkat minat bacanya," kata Fahri saat dihubungi Kompas.com, Minggu (2/10/2016).

"Banyak buku yang dihadirkan di situ sebagai ajang diseminasi pengetahuan, termasuk soal ideologi komunisme," ujar dia. 

(Baca juga: Polisi: WNA Malaysia yang Jual Buku Bergambar Palu Arit Tidak Tahu Itu Sensitif)

Fahri mengatakan, pemerintah atau dalam hal ini aparat penegak hukum seharusnya mengubah sikap dan pandangan terhadap buku-buku komunisme.

Ini disebabkan komunisme tidak lagi sama ketika Partai Komunisme Indonesia berkuasa. Menurut Fahri, pasca-peristiwa 1965, komunisme sudah mati sebagai sebuah gerakan politik.

Namun, komunisme sebagai literatur ilmiah adalah suatu hal yang berbeda. Komunisme saat ini harus dipandang sebagai bahan untuk memperkaya pikiran, wawasan dan pengetahuan.

Siapa pun dinilai berhak mempelajari komunisme karena ilmu pengetahuan bersifat universal.

"Mempelajari komunisme sama halnya kita belajar tentang demokrasi, sosialisme dan liberalisme. Dalam rumpun ilmu sosial itu hal yang biasa. Mana ada pelarangan untuk belajar ilmu-ilmu sosial?" ucapnya.

Oleh sebab itu, Fahri meminta pemerintah dan aparat hukum berpikir lebih terbuka dan tidak melihat komunisme sebagai hantu-hantu yang akan meruntuhkan ideologi bangsa ini.

Kompas TV TNI Turunkan dan Sita Bendera Palu Arit di Manado
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang 'Toxic'

JK: Pelanggar UU Lebih Tidak Boleh Masuk Pemerintahan Ketimbang Orang "Toxic"

Nasional
Tanggapi Luhut soal Orang 'Toxic', Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Tanggapi Luhut soal Orang "Toxic", Anies: Saya Hindari Diksi Merendahkan atas Perbedaan Pandangan

Nasional
Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Profil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor, Dulu Antikorupsi, Kini Ditahan KPK

Nasional
Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim 'Red Notice' ke Interpol

Buru WN Nigeria di Kasus Email Bisnis Palsu, Bareskrim Kirim "Red Notice" ke Interpol

Nasional
Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Sama Seperti Ganjar, Anies Berencana Berada di Luar Pemerintahan

Nasional
Anggap 'Presidential Club' Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Anggap "Presidential Club" Prabowo Positif, Jusuf Kalla: di Seluruh Dunia Ada

Nasional
Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Dituntut 1 Tahun Penjara Kasus Pencemaran Nama Ahmad Sahroni, Adam Deni Ajukan Keberatan

Nasional
Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Anies Mengaku Belum Bicara Lebih Lanjut Terkait Pilkada DKI Jakarta dengan Surya Paloh

Nasional
KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

KPK Tahan Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor

Nasional
Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat 'Presidential Club'

Prabowo Tak Perlu Paksakan Semua Presiden Terlibat "Presidential Club"

Nasional
'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

"Presidential Club" Prabowo Diprediksi Jadi Ajang Dialog dan Nostalgia

Nasional
Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye 'Tahanan KPK' Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Gus Muhdlor Kenakan Rompi Oranye "Tahanan KPK" Usai Diperiksa 7 Jam, Tangan Diborgol

Nasional
Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Adam Deni Hanya Dituntut 1 Tahun Penjara, Jaksa: Sudah Bermaafan dengan Sahroni

Nasional
Ide 'Presidential Club' Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Ide "Presidential Club" Prabowo Diprediksi Bakal Bersifat Informal

Nasional
Prabowo Mau Bentuk 'Presidential Club', Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Prabowo Mau Bentuk "Presidential Club", Ma'ruf Amin: Perlu Upaya Lebih Keras

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com