Pertemuan Internasional Penanggulangan Terorisme dan KTT Ke-2 Penanggulangan Pendanaan Terorisme di Nusa Dua Bali (10/8/2016), yang dihadiri 35 perwakilan negara di dunia, menyoroti evolusi taktik pelaku tindak terorisme sebagai isu terkini yang sangat penting. Dari sisi taktik, aksi-aksi terorisme global dipahami terus berevolusi.
Dalam babakan waktu yang cukup lama, serangan teror kerap dilakukan dengan biaya besar dan dalam kelompok. Taktik itu mengalami perubahan. Kini, pelaku teror tak lagi menjadikan serangan kelompok dengan biaya besar sebagai taktik utama. Serangan-serangan individual merupakan modus baru yang mulai kerap dijadikan sebagai strategi terorisme model baru.
Serangan teror di Nice, Perancis, pertengahan Juli lalu, salah satu buktinya. Pelakunya individual. Modusnya dengan menabrakkan truk sewaan ke kerumunan di kawasan Pantai Promenade des Angalais, Nice. Lebih dari 80 orang akhirnya tewas.
Pola dan model gerakan
Evolusi taktik serangan pelaku teror memang pantas menjadi perhatian bersama. Tertangkap atau bahkan terbunuhnya pelaku teror yang satu tak segera mengakhiri tindak terorisme oleh yang lain.
Bahkan, terbunuhnya para gembong kelas wahid belum bisa menjamin berakhirnya terorisme yang mengancam keamanan bersama. Selalu ada yang baru dalam tindak terorisme di berbagai kawasan dunia.
Untuk itu, telaah atas pola atau model gerakan pelaku terorisme patut dilakukan secara saksama. Indonesia bisa dijadikan sebagai kasus menarik. Menurut hemat saya, ada empat model atau pola gerakan yang dipraktikkan oleh para pelaku terorisme di negeri ini.
Pertama, model aksi terorisme melalui penyerangan fisik dalam skala besar. Rangkaian aksi teror melalui bom bunuh diri, dari Bom Bali I 2002, Bom Marriot 2003, hingga Bom Kuningan (Kedubes Australia) 2004, adalah bukti konkret dari model terorisme melalui serangan fisik berskala besar.
Model ini dilakukan saat ruang gerak terorisme belum mengalami penyempitan dan pembatasan berarti. Model ini diberlakukan saat penyerangan fisik masih dianggap sebagai satu-satunya instrumen paling efektif bagi pencapaian tujuan terorisme.
Kedua, model penyebaran terorisme melalui publikasi populer. Model ini dilakukan dengan menyebarluaskan ideologi dan cara pandang terorisme ke khalayak luas dengan memanfaatkan kemajuan industri media.
Dalam kaitan ini, muncullah rangkaian panjang aktivitas industri publikasi yang berorientasi pengembangan semangat dan ideologi teror. Identitas yang dieksploitasi adalah pencitraan diri sebagai "media jihad". Bentuk produknya sangat beragam: mulai dari VCD, majalah, buku, hingga pamflet atau poster yang menjual visualisasi aksi jihad.
Model gerakan jihad-cum-terorisme jenis kedua ini dipraktikkan menyusul pembatasan dan penyempitan ruang gerak.
Menguatnya institusionalisasi penjaminan keamanan melalui tim Densus 88, kencangnya kampanye anti terorisme oleh negara dengan dukungan besar dari titik simpul masyarakat, hingga hampir tiadanya industri media yang membantu atau minimal tidak menyudutkan posisi pelaku gerakan terorisme membuat para pelaku gerakan tersebut menghitung ulang strategi gerakan yang digunakan.
Penghitungan ulang itu akhirnya melahirkan dua kesadaran baru. Salah satunya adalah bahwa meneruskan aksi teror melalui penyerangan fisik seperti bom bunuh diri berskala besar akan membuat umur gerakan mereka makin pendek. Sebab, pergerakan mereka akan mudah terbaca.
Kesadaran yang lain adalah bahwa intensifikasi penyerangan fisik melalui aksi bom bunuh diri berskala besar dianggap tak lagi efektif untuk perekrutan tenaga baru serta keberlangsungan gerakan jihad-cum-terorisme untuk babakan waktu yang panjang.