JAKARTA, KOMPAS.com - Peristiwa pengusiran ribuan warga eks Gerakan Fajar Nusantara Gafatar (Gafatar) dari Mempawah, Kalimantan Barat, pada awal Januari 2016 lalu, menyisakan perlakuan diskriminatif.
Setelah dikembalikan ke daerah asalnya masing-masing, para warga eks Gafatar mengalami perlakuan tidak adil dari pemerintah.
Yudhistira Arif Rahman, kuasa hukum warga eks Gafatar, mengatakan, perlakuan diskriminatif tidak hanya terjadi saat peristiwa pengusiran di Mempawah.
Hal ini terus berlangsung hingga warga eks Gafatar kembali ke daerah asal.
Beberapa warga mengaku mengalami pengusiran, pencabutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan pencantuman pernah terlibat dalam kegiatan kriminal dalam Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).
Bahkan, kata Yudhistira, di Rangkas Bitung ada 7 kepala keluarga yang dikenakan wajib lapor oleh aparat keamanan.
"Warga eks kelompok Gafatar mengalami diskriminasi bukan hanya saat pengusiran di Kalimantan. Banyak kasus misal KTP yang dicabut dan pemberlakuan wajib lapor terhadap 7 kepala keluarga di Rangkas Bitung," ujar Yudhistira, saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com, Palmerah Selatan, Jakarta, Jumat (12/8/2016).
Menurut Yudhistira, segala bentuk diskriminasi yang dialami warga eks Gafatar terjadi karena adanya stigma sesat dan tuduhan makar dari pemerintah.
"Yang kami takutkan perilaku diskriminatif akan semakin massif terjadi," tambahnya.
Diusir
Seorang warga eks Gafatar, Suratmi, 44 tahun asal Indramayu, menceritakan perlakuan diskriminasi yang dia terima setelah dievakuasi paksa dari Singkawang, Kalimantan Barat.
Pada Januari lalu, Suratmi bersama suami dan tiga anaknya dikembalikan ke desa asalnya di Mekarjati, Kecamatan Haurgeulis, Indramayu.
Namun, sesampainya di sana, keluarga Suratmi tidak diperbolehkan tinggal kembali di Mekarjati oleh kepala desa.
Selain mengusir, kepala desa juga mencabut KTP milik Suratmi dan suaminya.
Menurut penuturan Suratmi, kepala desa sempat memberikan uang Rp 400 ribu sebagai modal untuk mencari rumah sewa di desa lain.