JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri mengatakan, rencana eksekusi mati yang akan dilakukan oleh pemerintah menunjukkan rendahnya komitmen pemerintah terhadap penegakan hak asasi manusia.
Gurfron menuturkan, masyarakat sipil pada awalnya banyak berharap pada Presiden Joko Widodo dalam penegakan HAM.
"Terutama dalam jaminan perlindungan hak hidup, dalam dua tahun banyak sekali kebijakan yang bertolak belakang dengan apa yang didorong oleh masyarakat sipil terkait isu HAM," kata Gufron di kantor Kontras, Jakarta, Rabu (27/6/2016).
Gufron menilai lemahnya komitmen pemerintah ditunjukkan dengan berbagai kritik terhadap hukuman mati yang tidak ditanggapi oleh pemerintah.
Menurut dia, kritik tidak hanya datang dari masyarakat Indonesia tapi juga datang dari dunia internasional. Rencana eksekusi mati dinilai Gufron mengindikasikan pemerintah tidak belajar dari eksekusi mati sebelumnya.
Kesalahan yang sangat fundamental, lanjut Gufron, bahwa hukum modern seharusnya memiliki makna korektif bagi pelaku kejahatan.
"Model hukum balas dendam harus ditanggalkan," ucapnya.
Selain itu, Gufron menilai hukuman mati tidak berkorelasi dengan angka kejahatan. Hal itu terlihat dari peningkatan peredaran narkoba di masyarakat.
"Padahal dalam kejahatan ada banyak faktor yang pengaruhi. Ada faktor sosial ekonomi yang harus dilihat. Dalam narkoba, ada keterlibatan oknum aktor keamanan dalam praktek bisnis narkoba misalnya penyelundupan," tutur Gufron.