JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo hingga kini belum menyerahkan nama pengganti Kapolri Jenderal Pol Badrodin Haiti ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk menjalani fit and proper test atau uji kepatutan dan kelayakan.
Padahal, masa jabatan Badrodin akan berakhir pada Juli 2016 mendatang.
"Sebaiknya, Presiden melaksanakan saja ketentuan yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI," kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo dalam pesan singkatnya, Senin (6/6/2016).
Dalam Pasal 30 ayat (2) UU tersebut disebutkan, usia pensiun maksimum bagi anggota Polri adalah 58 tahun.
Jika anggota tersebut memiliki keahlian khusus dan sangat dibutuhkan untuk tugas kepolisian, maka masa tugasnya dapat diperpanjang hingga ia berusia 60 tahun.
Hingga saat ini, Jokowi belum memutuskan untuk memperpanjang masa jabatan Badrodin atau menunjuk perwira polisi lain sebagai pengganti.
Menurut Bambang, ada lima nama jenderal bintang tiga yang layak untuk menggantikan Badrodin.
Mereka adalah Wakapolri Komjen Budi Gunawan, Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Budi Waseso, Inspektur Pengawasan Umum Komjen Dwi Priyatno, Kepala BNPT Komjen Tito Karnavian, dan Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komjen Syafruddin.
"Di antara mereka yang sudah teruji dan lolos fit and proper test di DPR beberapa waktu lalu ada Komjen Budi Gunawan," kata dia.
Kendati demikian, Bambang juga meminta agar tidak ada pihak yang berupaya memaksakan diri untuk menekan Presiden Jokowi agar mempercepat proses pergantian tersebut.
Ia menduga, Presiden memiliki alasan sendiri mengapa sampai saat ini belum ada satu pun nama yang diserahkan ke DPR.
"Presiden tampaknya butuh kepala Polri yang mampu memberi dukungan maksimal terhadap upaya pemerintah mewujudkan iklim kondusif bagi percepatan pertumbuhan investasi asing ataupun lokal," kata dia.
Kecenderungan itu, kata dia, terlihat dari langkah Presiden yang beberapa waktu terakhir memanggil Kapolri, Jaksa Agung, dan pimpinan KPK ke Istana Negara untuk membicarakan rencana kebijakan pengampunan pajak yang akan dilaksanakan.
"Presiden ingin adanya keseragaman persepsi antara pemerintah dan penegak hukum terhadap rencana kebijakan tax amnesty itu," ujar Bambang.