Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

18 Tahun Silam, Ketua DPR/MPR Harmoko Minta Presiden Soeharto Mundur

Kompas.com - 18/05/2016, 13:29 WIB
Bayu Galih

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Desakan agar Presiden Soeharto mundur dari jabatannya semakin terdengar kencang pada hari ini, 18 tahun silam, 18 Mei 1998.

Saat itu, aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa semakin membesar dan mulai bergerak masuk ke Gedung DPR.

Mahasiswa semakin lantang minta Soeharto mundur setelah terjadi penembakan di Universitas Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa kampus itu.

(Baca: 18 Mei 1998 Jakarta Mencekam, tetapi Mahasiswa Bergerak Kuasai Gedung DPR/MPR)

Selain itu, situasi politik pun semakin pelik dengan adanya kerusuhan pada pertengahan Mei 1998. Terlebih lagi, kerusuhan itu disertai kekerasan berbasis prasangka rasial yang menimbulkan korban tewas dengan jumlah tidak sedikit.

Dikutip dari arsip Kompas yang terbit pada 19 Mei 1998, pimpinan DPR/MPR pun kemudian meminta Presiden Soeharto untuk mundur.

Permintaan itu disampaikan Ketua DPR/MPR Harmoko yang didampingi pimpinan lain, yaitu Ismail Hasan Metareum, Abdul Gafur, Fatimah Achmad, dan Syarwan Hamid, pada 18 Mei 1998.

"Dalam menanggapi situasi seperti tersebut di atas, pimpinan Dewan, baik ketua maupun wakil-wakil ketua, mengharapkan, demi persatuan dan kesatuan bangsa, agar Presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri," kata Harmoko.

"Pimpinan Dewan menyerukan kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang, menahan diri, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mewujudkan keamanan ketertiban supaya segala sesuatunya dapat berjalan secara konstitusional," lanjutnya.

Disanggah ABRI dan Golkar

Namun, pernyataan pimpinan DPR itu disanggah Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto. Pernyataan pimpinan DPR dinilai Wiranto sebagai pendapat pribadi.

"Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh semua anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR," kata Wiranto.

Wiranto bahkan menilai bahwa Presiden Soeharto memiliki tanggung jawab untuk melakukan sejumlah langkah untuk mengatasi krisis.

"ABRI masih berpendapat bahwa tugas dan kewajiban mendesak pemerintah yang menjadi tanggung jawab Presiden adalah melaksanakan reshuffle kabinet, melaksanakan reformasi secara menyeluruh, dan mengatasi krisis. Ini penting dilakukan agar bangsa Indonesia segera dapat keluar dari masa krisis ini," ujar Wiranto.

Pernyataan pimpinan DPR itu juga dianggap tidak mewakili suara fraksi-fraksi yang ada di DPR/MPR. Setidaknya, sanggahan dinyatakan dua fraksi yang menjadi mesin politik Orde Baru, Fraksi Karya Pembangunan atau F-KP (Golkar).

Halaman:


Terkini Lainnya

 Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Gerindra Sebut Indonesia Negara Besar, Wajar Kementerian Diperbanyak

Nasional
Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Satu Pejabat Pemprov Malut Jadi Tersangka Baru Kasus Gubernur Abdul Ghani Kasuba

Nasional
RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

RI Ajukan Penyesuaian Pembayaran Proyek Jet Tempur KF-21 Boramae ke Korsel, Kemenhan Jelaskan Alasannya

Nasional
 Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Prabowo Disebut Ingin Tambah Jumlah Kementerian, Jokowi Klaim Tak Beri Masukan

Nasional
Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Menag Bertolak ke Arab Saudi Cek Persiapan Ibadah Haji untuk Jemaah Indonesia

Nasional
Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang 'Toxic', Jokowi: Benar Dong

Luhut Ingatkan Prabowo Jangan Bawa Orang "Toxic", Jokowi: Benar Dong

Nasional
Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Ganjar Harap Buruknya Pilpres 2024 Tak Dikloning ke Pilkada

Nasional
Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Bea Cukai Jadi Sorotan Publik, Pengamat Intelijen: Masyarakat Harus Beri Dukungan untuk Perbaikan

Nasional
Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Hakim Agung Gazalba Saleh Didakwa Terima Rp 37 Miliar karena Kabulkan PK Eks Terpidana Megapungli di Pelabuhan Samarinda

Nasional
Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Ditanya soal Ikut Dorong Pertemuan Megawati-Prabowo, Jokowi Tersenyum lalu Tertawa

Nasional
Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Berhaji Tanpa Visa Haji, Risikonya Dilarang Masuk Arab Saudi Selama 10 Tahun

Nasional
Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Kuota Haji Terpenuhi, Kemenag Minta Masyarakat Tak Tertipu Tawaran Visa Non-haji

Nasional
Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Sengketa Pileg, Hakim MK Sindir MU Kalah Telak dari Crystal Palace

Nasional
Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Wakil Ketua MK Sindir Nasdem-PAN Berselisih di Pilpres, Rebutan Kursi di Pileg

Nasional
PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

PDI-P Berada di Dalam atau Luar Pemerintahan, Semua Pihak Harus Saling Menghormati

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com