Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ancaman Terhadap Penyidik Kejaksaan, Mulai dari SMS Hingga Santet

Kompas.com - 01/02/2016, 14:57 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Yulianto, melaporkan Hary Tanoesoedibjo ke Bareskrim Polri, Kamis (28/1/2016) lalu.

Laporan tersebut atas dasar adanya pesan singkat bernada ancaman dan terkesan menakut-nakuti. Setelah melakukan pelacakan, Yulianto yakin nomor tersebut milik Hary Tanoe.

Pesan singkat berisi ancaman ternyata bukan hal baru bagi penyidik kejaksaan. Bentuk ancaman yang diterima pun beragam.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Amir Yanto menuturkan, ancaman tersebut tergantung bagaimana setiap individu menyikapinya.

"Ancaman kan kadang-kadang biasa saja, tinggal bagaimana menanggapi. Teror juga. Pemahaman teror juga berbeda," kata Amir, saat ditemui di Kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Senin (1/2/2016).

Terkait dengan bentuk ancaman tersebut, seorang sumber Kompas.com dari internal Kejaksaan yang enggan disebut identitasnya, menyebutkan, ancaman yang diterima penyidik bermacam-macam.

Ancaman tersebut mulai dari pesan singkat hingga ancaman santet, dukun, serta ancaman pembunuhan.

Bahkan, tak jarang adan massa yang bergerombol datang ke sidang dan mengganggu jalannya persidangan dengan melempari batu.

"Dukun, santet, ancaman pembunuhan atau rumah dilempari batu. Ada juga yang dikirimi foto istri dan anak," kata dia.

Jumlah ancaman yang masuk tak tentu setiap bulannya. Ia mengatakan, semakin besar kasus maka semakin besar dan banyak pula ancaman yang diterima pihak kejaksaan. Misalnya, kasus pembunuhan berencana atau narkotika.

"Kalau kita biasanya tugas, ya tetap tugas. Kalau takut, keluar saja dari Kejaksaan," kata dia.

Amir menambahkan, jika ancaman tersebut dianggap berbahaya, biasanya Kejaksaan akan berkoordinasi dengan pihak Kepolisian.

Para penyidik juga kerap mengganti nomor ponselnya jika menerima ancaman yang dianggap sangat mengganggu.

"Kalau kita enggak tahan dan enggak bisa menghadapi (ancaman itu), kita ganti saja nomornya," ujarnya.

Sebelumnya diberitakan, Kepala Subdirektorat Penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Yulianto, melaporkan Hary Tanoesoedibjo ke Bareskrim Polri, Kamis (28/1/2016) lalu.

Yulianto mengatakan, laporan itu dibuat atas dasar adanya pesan singkat dari sebuah nomor yang berisi ancaman dan terkesan menakut-nakuti dirinya.

Yulianto sempat mendiamkan pesan singkat itu. Namun, pesan singkat dengan unsur yang sama kembali diterima. 

Setelah diperiksa, Yulianto meyakini bahwa nomor ponsel tersebut adalah nomor ponsel Hary Tanoesoedibjo. 

Saat ditanya apa yang membuatnya yakin bahwa nomor ponsel tersebut merupakan nomor Hary Tanoesoedibjo, Yulianto enggan menjelaskan lebih jauh. 

Dia menyebutkan, hal itu adalah bagian dari penyidikan polisi. Laporan Polisi (LP) Yulianto teregister dengan nomor LP/100/I/2016/Bareskrim. Adapun bukti laporan polisi tersebut teregister dengan nomor TBL/69/I/2016/Bareskrim. Dalam kolom terlapor, ditulis nama "Sdr Harry Tanooesoedibjo".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

 PAN Nilai 'Presidential Club' Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

PAN Nilai "Presidential Club" Sulit Dihadiri Semua Mantan Presiden: Perlu Usaha

Nasional
Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Gibran Ingin Konsultasi ke Megawati untuk Susun Kabinet, Politikus PDI-P: Itu Hak Prerogatif Pak Prabowo

Nasional
LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir 'Game Online' Bermuatan Kekerasan

LPAI Harap Pemerintah Langsung Blokir "Game Online" Bermuatan Kekerasan

Nasional
MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

MBKM Bantu Satuan Pendidikan Kementerian KP Hasilkan Teknologi Terapan Perikanan

Nasional
PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

PAN Siapkan Eko Patrio Jadi Menteri di Kabinet Prabowo-Gibran

Nasional
Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Usai Dihujat Karena Foto Starbucks, Zita Anjani Kampanye Dukung Palestina di CFD

Nasional
Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Kemenag: Jangan Tertipu Tawaran Berangkat dengan Visa Non Haji

Nasional
'Presidential Club' Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

"Presidential Club" Dinilai Bakal Tumpang Tindih dengan Wantimpres dan KSP

Nasional
Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Soal Presidential Club, Pengamat: Jokowi Masuk Daftar Tokoh yang Mungkin Tidak Akan Disapa Megawati

Nasional
Gaya Politik Baru: 'Presidential Club'

Gaya Politik Baru: "Presidential Club"

Nasional
Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Kemenag Rilis Jadwal Keberangkatan Jemaah Haji, 22 Kloter Terbang 12 Mei 2024

Nasional
Luhut Minta Orang 'Toxic' Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Luhut Minta Orang "Toxic" Tak Masuk Pemerintahan, Zulhas: Prabowo Infonya Lengkap

Nasional
PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat 'Presidential Club'

PDI-P Yakin Komunikasi Prabowo dan Mega Lancar Tanpa Lewat "Presidential Club"

Nasional
Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Zulhas: Semua Mantan Presiden Harus Bersatu, Apalah Artinya Sakit Hati?

Nasional
Soal 'Presidential Club', Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Soal "Presidential Club", Yusril: Yang Tidak Mau Datang, Enggak Apa-apa

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com