JAKARTA, KOMPAS - Demokrasi membutuhkan persiapan dan kesiapan. Sementara selama berpuluh tahun demokrasi hanya digembar-gemborkan. Kita, misalnya, tidak pernah diajari berbeda. Maka, orang pun terkaget-kaget setiap melihat perbedaan. Lalu mereka yang berbeda pun saling memutlakkan pendapat dan kecenderungannya masing-masing". (KH A Mustofa Bisri).
Pernyataan Gus Mus dalam buku Islam Nusantara: Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan (Mizan, 2015) itu memang niscaya. Itulah dasar dari semua kasus kekerasan berlatar belakang perbedaan agama.
Orang sulit menerima perbedaan, merasa paling benar dalam beragama sehingga-sedihnya- menjadi intoleran dan menghalalkan kekerasan terhadap mereka yang berbeda. Mayoritas merasa berhak mengatur minoritas. Makin parahlah keadaan karena hukum tidak bergigi.
Pada akhir tahun 2014 lalu, muncul harapan agar peristiwa-peristiwa intoleransi di Indonesia bisa berkurang pada 2015 ini. Ibarat mencari jejak di air, harapan itu tak terwujud.
Kasus-kasus intoleransi, baik antaragama maupun antar "aliran" dalam satu agama, ternyata masih terus terjadi, bahkan mencuat dua kejadian besar, bentrok antarwarga di Aceh Singkil dan di Tolikara, Papua.
Kejadian di Tolikara sungguh melukai hati semua umat beragama. Keterangan dari Polri menyebutkan, keributan pada Idul Fitri itu dipicu surat edaran dari Dewan Pekerja Wilayah Gereja Injili di Indonesia (GIDI) Tolikara yang tidak ditandatangani oleh Presiden GIDI.
Surat edaran menyebutkan, GIDI akan berkegiatan pada 13-19 Juli di Tolikara dan meminta umat Islam tidak mengundang massa pada tanggal itu. Karena Idul Fitri jatuh pada 17 Juli, umat Islam tetap menjalankan ibadah shalat Id, atas seizin kepolisian setempat. Bentrok pun tak terhindarkan.
Kasus seolah berbalas kasus. Tiga bulan kemudian, tepatnya pada 12 Oktober, gereja di Aceh Singkil dibakar massa. Mulanya warga setempat mendesak pemerintah untuk menertibkan 21 gereja tak berizin.
Akan tetapi, sebelum pemerintah mengeksekusi kesepakatan, massa telah bergerak, membakar gereja.
Menurut Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, polisi telah menjaga 21 gereja itu, tetapi karena letaknya menyebar, satu gereja hanya bisa dijaga oleh 20 personel.
Dua peristiwa yang terjadi di provinsi paling barat dan paling timur Indonesia itu secara kasatmata menunjukkan dominasi kelompok mayoritas atas minoritas.
Warga pemeluk agama mayoritas merasa memiliki kekuatan dan hak untuk menindas umat minoritas.
Pemerintah seperti tidak berdaya untuk menegakkan peraturan. Atau, pemerintah justru turut andil membuat dan menyokong peraturan yang dinilai atau ditafsirkan diskriminatif.
Selain dua peristiwa besar itu, kasus perselisihan rumah ibadah juga masih terjadi. Konflik GKI Yasmin, Bogor, dan HKBP Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, belum juga usai. Masjid Ahmadiyah di Tebet, Jakarta Selatan, disegel massa. Sebelumnya, kelompok Syiah di Yogyakarta diserang.
Setara Institute mencatat, masih ada lebih dari 300 tempat ibadah di Indonesia yang diganggu. Kelompok minoritas selalu merasa terancam.