JAKARTA, KOMPAS.com - Banyak kisah sejarah kebudayaan Indonesia yang mengandung nilai positif. Salah satunya cerita mengenai berdirinya kerajaan Majapahit.
Sama dengan yang lainnya, cerita Majapahit juga menyimpan kisah suka dan duka, ada yang setia, ada pula yang berkhianat. Tapi inti dari sejarah Majapahit adalah tentang pentingnya menjaga etika hidup, bergotong toyong, dan semua kebaikan selalu mendapat jalan kemenangan.
Pada Kamis (26/11/2015) malam, digelar pertunjukan ketoprak yang mengambil tema "Bangun Majapahit." Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi inisiator pentas budaya tersebut.
Tujuan dari pentas budaya ini adalah ingin mengingatkan kembali akar budaya Indonesia. Istilah kekiniannya adalah merevolusi mental. Memantapkan lagi akar budaya dalam benak, di tengah gencarnya budaya asing yang terus menggerus nilai-nilai ke-Indonesiaan.
"Jalan kebudayaan harus kita lakukan di tengah gempuran budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai kebudayaan Indonesia," kata Ketua Umum DPP PDI-P, Megawati Soekarnoputri.
Megawati hadir menyaksikan pertunjukan itu didampingi putrinya, Puan Maharani. Politisi PDI-P yang lain juga turut hadir, di antaranya Sekretaris Jenderal DPP PDI-P Hasto Kristiyanto, Wakil Gubernur DKI Jakarta Djarot Syaiful Hidayat, dan Andreas Hugo Pareira.
Tokoh lain yang hadir adalah Ketua DPR Setya Novanto bersama dua wakilnya, Fadli Zon dan Fahri Hamzah. Nampak hadir juga Kepala Staf Presiden, Teten Masduki, Ketua Dewan Pertimbangan Presiden Sri Adiningsih, dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi.
Sutradara pagelaran budaya "Bangun Majapahit" adalah Kenthus Apriyanto. Para pemain yang tampil di atas pentas di antaranya adalah Butet Kartaredjasa, Titiek Puspa, Bambang Pamungkas, dan Christine Hakim.
Cerita dimulai dari detik-detik runtuhnya kejayaan Prabu Kertanegara yang memimpin kerajaan Singhasari. Prabu Kertanegara gugur oleh serangan Jayakatwang yang merupakan Raja Kediri. Raden Wijaya, Ranggalawe, bersama Gayatri dan Tribhuwana lolos dari serangan Jayakatwang karena melarikan diri ke Sumenep (Madura).
Di Sumenep, Raden Wijaya meminta Arya Wiraraja untuk membantu mengembalikan kejayaan Singhasari dengan cara membangun kerajaan yang lebih besar. Arya menyangupi dan mulai menyusun siasat.
Singkat cerita, Raden Wijaya membawa pasukan untuk menyerang kerajaan Kediri. Jayakatwang gugur dalam serangan tersebut karena Raden Wijaya mendapat bantuan dari pasukan Tar-tar.
Pasukan Tar-tar kemudian diserang oleh pasukan Raden Wijaya karena meminta imbalan setelah membantu "merobohkan" kerajaan Kediri. Setelah peristiwa itu, Raden Wijaya menggelar sidang yang dihadiri seluruh punggawa Majapahit.
Raden Wijaya lalu menunjuk para punggwa dan pejabat negara, serta menobatkan dirinya dengan abhiseka nama Kertajasa Jayawardhana. Cerita lalu berlanjut pada bagian saat Prabu Jayanegara sakit dan tewas setelah ditikam seorang tabib, Ra Tanca.
Tabib tersebut kemudian tewas di tangan Gajahmada. Pesan paling dalam ada pada bagian ini. Karena kematian Jayanegara menimbulkan persoalan terkait penerusnya memimpin Majapahit. Jayanegara tidak memiliki anak laki-laki.
Posisi raja dinobatkan kepada Rajapadni Gayatri. Tapi, Rajapadni Gayatri dengan bijaksana menyerahkan tampuk kekuasaan kepada putrinya, Tribhuwana Tunggadewi. Gayatri memilih untuk menjadi Bhiksuni dan penasehat raja. Tribhuwana lalu mengangkat Gajahmada sebagai patih Daha.