JAKARTA, KOMPAS.com - DPR boleh jadi bergembira setelah pemerintah menyetujui anggaran pembangunan tujuh megaproyek di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta.
Rencana pembangunan ini sebelumnya sempat menuai kritik dari masyarakat. Proses pengajuannya pun sempat mengalami tarik ulur.
Wacana renovasi besar-besaran di Rumah Rakyat pertama kali disampaikan oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam pidato penutupan Masa Sidang III Tahun Sidang 2014/2015, Jumat (24/4/2015).
Setya menyebutkan, Presiden Joko Widodo akan menandatangani peresmian pembangunan dan melakukan peletakan batu pertama seusai penyampaian pidato nota keuangan pada 16 Agustus 2015.
(Baca Datangi Istana, Pimpinan KPK Undang Presiden Resmikan Gedung Baru)
Tujuh proyek yang direncanakan yakni pembangunan museum dan perpustakaan, alun-alun demokrasi, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR, visitor center, ruang pusat kajian legislasi, ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR.
Pengerjaan tujuh proyek ini menggunakan anggaran multiyears atau tahun jamak dan akan dikerjakan secara bertahap.
Namun, Presiden Jokowi menolak untuk meresmikan pembangunan tujuh proyek di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta.
Jokowi ingin ada usulan yang jelas terlebih dahulu dari DPR sebelum meresmikan proyek ini. (Baca Jokowi Tolak Resmikan 7 Proyek DPR)
Seusai menyampaikan pidato nota keuangan, Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla pada Agustus lalu, memang diajak meninjau museum di Kompleks Parlemen. Namun, Jokowi tidak menandatangani prasasti yang sudah disiapkan.
Ia belum memberikan persetujuan atas tujuh proyek ini karena masih mengkaji ruang anggaran yang terbatas dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2016.
Setelah kritik dari masyarakat hingga penolakan dari Presiden datang, hampir seluruh fraksi merasa pembangunan 7 proyek ini layak dikaji ulang atau ditunda karena sifatnya tidak begitu mendesak.