Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah negara di Timur Tengah dan Eropa sering mengundang cendekiawan Muslim Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang Islam yang berkembang di Indonesia atau Islam Nusantara yang wajahnya sama dengan Islam washatiyyah, yaitu Islam yang ada di tengah, tidak berada dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengamalannya.
Mereka kagum bagaimana Islam di Indonesia dapat hidup rukun dengan agama lain dan berakulturasi dengan budaya lokal. Terlebih, bagaimana Islam di Indonesia bisa berdampingan dengan demokrasi.
Selama ini agak sulit menemukan model demokrasi di dunia Muslim. "Arab Spring" yang dimulai 2011 sempat memberikan harapan tumbuhnya demokrasi di dunia Arab. Namun, yang kemudian terjadi adalah kekacauan dan kembalinya rezim militer ke pusat kekuasaan.
Kondisi ini membuat Indonesia menjadi model yang sangat baik dalam hal hubungan antara Islam dan demokrasi. Indonesia telah memberikan contoh bahwa Islam kompatibel dengan demokrasi.
Kehadiran Islam Nusantara sebagai model makin dibutuhkan menyusul berkembangnya paham radikal dan aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam seperti yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) atau Boko Haram di Nigeria.
Namun, karena pengaruh peradaban dan geopolitik dunia Islam masih didominasi Timur Tengah, yang terjadi di Timur Tengah masih sering dianggap sebagai representasi dari Islam. Sebagian besar masyarakat Barat belum mengetahui Islam Nusantara.
Di benak mayoritas masyarakat Barat, Islam adalah apa yang selama ini terefleksi di Timur Tengah. Kehadiran kelompok seperti NIIS makin memperburuk citra Islam.
Namun, masyarakat Barat tetap meyakini, wajah Islam yang sering diperlihatkan para teroris dan gerakan radikal bukanlah Islam yang sebenarnya. Mereka hanya menggunakan Islam untuk kepentingan politik sesaat sehingga dilihat sebagai Islam politik yang tidak didasarkan pada asas-asas agama.