Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saksi Ahli Suryadharma dan KPK Adu Argumen soal Penghitungan Kerugian Negara

Kompas.com - 01/04/2015, 19:18 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, Chairul Huda berpendapat, tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama pada 2010-2013 menyalahi aturan. Sebab, penetapan itu dilakukan sebelum KPK mengantongi data kerugian keuangan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Chairul mengatakan, di dalam persidangan KPK menyatakan jika telah menemukan dua bukti permulaan yang cukup, yang mengindikasikan terjadinya tindak pidana korupsi. Selain keterangan saksi dan dokumen, ada pula indikasi kerugian negara yang dihitung sendiri oleh KPK berdasarkan keterangan yang diperoleh dalam penyelidikan.

Kerugian keuangan negara itu terdapat pada proses rekruitmen Panitia Penyelnggara Ibadah Haji sebesar Rp 3,074 miliar dan dalam proses pengadaan pemondokan jamaah haji di Arab Saudi sebesar Rp 1,8 triliun.

"Kalau dia menghitung sendiri dan menjadikan itu sebagai alat untuk menetapkan tersangka, itu namanya membuat bukti. Itu perbuatan melawan hukum," kata Chairul saat menjadi saksi ahli dalam sidang praperadilan yang diajukan Suryadharma terhadap KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (1/4/2015).

Menurut Chairul, BPK telah diberi wewenang di dalam Undang-Undang tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, untuk melakukan penghitungan kerugian keuangan negara. Sehingga, kata dia, jika ada sebuah perkara korupsi yang tengah ditangani penyelidik, mereka bisa meminta pendapat BPK untuk mengetahui apakah terjadi kerugian keuangan negara atau tidak.

"Tetapi fakta persidangan menunjukkan tadi dasar menentukan kerugian keuangan negara itu bukan dari BPK, tapi dari hitung-hitungannya sendiri, itu namanya membuat bukti. Sementara dia hanya boleh mencari dan mengumpulkan bukti," kata dia.

Dipatahkan

Pernyataan Chairul rupanya mengundang pertanyaan dari Anggota Biro Hukum KPK, Abdul Basir. Basir bertanya apakah penyelidik diperbolehkan untuk melakukan analisa atas surat-surat dan kwitansi yang diperoleh pada saat penyelidikan. "Bisa," kata Chairul.

Tak berhenti di situ, Basir juga bertanya apakah menghitung selisih uang yang terdapat di dalam kwitansi juga merupakan bagian dari analisis. Mendapat pertanyaan itu, Chairul pun membenarkannya. "Iya," kata Chairul.

Sementara itu, Anggota Biro Hukum KPK lainnya, Nur Chusniah mengatakan, UU KPK selangkah lebih maju daripada UU KUHAP. Ia menjelaskan, ketika penyelidik telah menemukan sebuah peristiwa pidana dan mengantongi calon tersangka, maka sudah wajar jika mereka mengumumkan siapa tersangka tersebut. Namun sebelumnya, status penyelidikan itu ditingkatkan terlebih dahulu menjadi penyidikan.

"Ketika penyidikan, itu firm sama dengan di KUHAP (soal penetapan tersangka). Namun, kami sudah lebih maju dari KUHAP, ketika kita sudah menemukan peristiwa pidana, calon tersangkanya ada, kenapa tidak harus ditetapkan sebagai tersangka?" kata Nur saat ditemui usai persidangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Ahli Hukum: Tak Mungkin Jaksa Agung Limpahkan Wewenang ke Jaksa KPK

Ahli Hukum: Tak Mungkin Jaksa Agung Limpahkan Wewenang ke Jaksa KPK

Nasional
Istri Ungkap SYL Suka Marah jika Ia Masih Beli Tas

Istri Ungkap SYL Suka Marah jika Ia Masih Beli Tas

Nasional
Brimob Keliling Kejagung Disebut Rangkaian dari Penguntitan Jampidsus

Brimob Keliling Kejagung Disebut Rangkaian dari Penguntitan Jampidsus

Nasional
KPK Tetapkan 2 Tersangka dalam Kasus Dugaan Korupsi di PT PGN

KPK Tetapkan 2 Tersangka dalam Kasus Dugaan Korupsi di PT PGN

Nasional
KPK Panggil Pengacara Jadi Saksi Kasus Harun Masiku

KPK Panggil Pengacara Jadi Saksi Kasus Harun Masiku

Nasional
Kejagung Serahkan Anggota Densus 88 Penguntit Jampidsus ke Propam Polri

Kejagung Serahkan Anggota Densus 88 Penguntit Jampidsus ke Propam Polri

Nasional
Surya Paloh Disebut Tetap Meminta Organisasi Sayap Nasdem Lanjutkan Kegiatan yang Didanai Kementan

Surya Paloh Disebut Tetap Meminta Organisasi Sayap Nasdem Lanjutkan Kegiatan yang Didanai Kementan

Nasional
Menpan-RB Apresiasi Perbaikan Pelayanan Proses Bisnis Visa dan Itas Kemenkumham

Menpan-RB Apresiasi Perbaikan Pelayanan Proses Bisnis Visa dan Itas Kemenkumham

Nasional
Beda Keterangan SYL dan Istrinya soal Durian

Beda Keterangan SYL dan Istrinya soal Durian

Nasional
Kejagung: Jampidsus Dikuntit Anggota Densus 88 Fakta, Bukan Isu

Kejagung: Jampidsus Dikuntit Anggota Densus 88 Fakta, Bukan Isu

Nasional
Cuaca Arab Saudi Tembus 43 Derajat Celsius, Jemaah Haji Indonesia Diimbau Gunakan Masker

Cuaca Arab Saudi Tembus 43 Derajat Celsius, Jemaah Haji Indonesia Diimbau Gunakan Masker

Nasional
Sidang Sengketa Pileg, Saksi Golkar dari Ambon Hilang Kontak Jelang Terbang ke Jakarta

Sidang Sengketa Pileg, Saksi Golkar dari Ambon Hilang Kontak Jelang Terbang ke Jakarta

Nasional
Benarkan Isu Penguntitan, Jampidsus: Sudah Jadi Urusan Kelembagaan

Benarkan Isu Penguntitan, Jampidsus: Sudah Jadi Urusan Kelembagaan

Nasional
Bertambah, Kerugian Keuangan Negara Kasus Korupsi Timah Jadi Rp 300 Triliun

Bertambah, Kerugian Keuangan Negara Kasus Korupsi Timah Jadi Rp 300 Triliun

Nasional
Dukung Optimalisasi Bisnis Lewat Energi Terbarukan, Pertamina Hulu Rokan Bangun PLTS Terbesar di Indonesia

Dukung Optimalisasi Bisnis Lewat Energi Terbarukan, Pertamina Hulu Rokan Bangun PLTS Terbesar di Indonesia

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com