"Kita tidak tampak seperti punya harga diri. Baru seperti itu kita sudah enggak melaksanakan eksekusi," kata Margarito, di Kompleks Parlemen, Jumat (20/2/2015).
Margarito mengatakan, Presiden Joko Widodo seharusnya membuktikan komitmennya bahwa tak akan ada kompromi terhadap terpidana mati kasus narkoba.
"Presiden sudah bilang berapa banyak orang yang mati akibat kasus narkoba ini. Penerapan hukuman itu adalah salah satu cara untuk membersihkan bangsa ini dari narkoba dan itu masuk akal," katanya.
Lebih jauh, menurut dia, penundaan ini bisa memengaruhi hubungan antara Indonesia dengan Brazil dan Belanda. Sebelumnya, pemerintah kedua negara itu pernah meminta Indonesia membatalkan eksekusi dan memohon pengampunan bagi dua warganya, namun permintaan itu ditolak.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I Tantowi Yahya mengatakan, pemerintah seharusnya tidak ragu mengksekusi terpidana mati.
"Saya berharap penundaan pelaksanaan hukuman mati bagi dua bandar Australia ini murni karena persoalan teknis, bukan karena tekanan," kata politisi Golkar itu dalam keterangannya.
Seperti diberitakan, Perdana Menteri Australia Tony Abbott mendesak, pemerintah Indonesia membatalkan hukuman mati terhadap dua warga negaranya. Ia meminta Indonesia mengingat kontribusi besar Canberra dalam bantuan setelah tsunami dahsyat tahun 2004.
Indonesia telah menegaskan bahwa dua warga Australia, Andrew Chan (31) dan Myuran Sukumaran (33), akan berada di antara kelompok narapidana berikutnya yang akan menghadapi regu tembak.
Belakangan, Tony Abbott mengatakan, pernyataannya yang mengaitkan bantuan Australia saat terjadi tsunami di Indonesia dengan permohonan pembatalan eksekusi terpidana mati "Bali Nine" hanya merupakan "peringatan" dan bukan suatu "ancaman".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.