Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 24/11/2014, 20:35 WIB

Oleh M Alfan Alfian

KOMPAS.com - APA yang dapat kita petik dari perkembangan politik kita sekarang?

Banyak hal. Di ranah elite ada konflik berlanjut konsensus yang berdampak pada rakyat. Dari perspektif pembangunan politik, semakin terasa stabilitas politik ada di ranah elite.

Pengakhiran konflik di DPR terasa elitis karena memang wilayah mereka. Rakyat lazim berharap elitenya bijak menyelesaikan konfliknya dengan baik dan bisa lebih produktif.

Di ranah nonelite, reaksi antielite dan antipartai sering menggejolak kendati selama ini lebih sebatas kekecewaan verbal. Orang sekadar tak suka perilaku elite dan partai, tetapi tidak tampak bergerak konkret. Ranah civil society kita bahkan belum mampu mendorong tumbuhnya partai-partai politik yang kuat dalam kerangka konsolidasi demokrasi justru karena merasa itu urusan masyarakat politik semata.

Sementara partai-partai yang seharusnya menjadi pilar utama demokrasi tidak juga tampak berikhtiar memperkuat kelembagaannya. Partai masih kental oligarkinya. Para elite menjadikan lembaganya sebagai kartel politik yang lazim berkait dengan urusan bisnis.

Demokrasi sering berada pada simpang paradoks perilaku elitenya. Celakanya, masyarakat awam sering terjebak pada situasi yang membuat mereka pragmatis. Praktik demokrasi prosedural tak didukung sistem dan perilaku yang mencerminkannya. Di sisi substansi, kita merasakan implementasi demokrasi adalah perjuangan yang semakin tak berkesudahan. Secara prosedural, memang sudah ada banyak perubahan dalam praktik demokrasi kita. Bahkan Indonesia lazim dikategorikan negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Tapi, apa makna semua itu?

Kepentingan bangsa

Sudah selayaknya politik Indonesia kita arahkan ke politik makna. Istilah politik makna saya ambil dari Cliford Geerzt, ”the politics of meaning”, dalam catatan penutup buku, Culture and Politics in Indonesia (1972). Geerzt mengajak kita untuk mampu menangkap makna dari ragam perjalanan politik Indonesia sejak 1945.

Dinamika politik boleh berlangsung secara tajam, tetapi harus ada tepinya. Konsensus dan konflik lazim dalam politik. Tetapi hendaknya meninggalkan makna. Makna yang dimaksud adalah catatan atau semacam kesimpulan obyektif yang hadir dari sejumlah peristiwa politik yang nyaris selalu melibatkan elite. Kalau demikian, makna bukan pembenaran atau dalih. Makna melibatkan aspek-aspek akademis dan filosofis. Tidak semua peristiwa politik dicatat punya makna yang sama dengan dalih para politisi yang terlibat atau terkait kepentingan dengan peristiwa-peristiwa politik. Makna selalu dikaitkan dengan konteks kepentingan bangsa, sementara pembenaran politik lebih ke konteks kelompok bersangkutan.

Politik makna, dengan demikian, mengandung kewajiban tanggung jawab semua pihak untuk mereproduksi aspek-aspek bagus pendidikan politik. Kesadaran akan tanggung jawab politik untuk kepentingan lebih besar atau kepentingan bangsa dan kemanusiaan yang lebih luas harus terus dikondisikan di tengah kabut asap pragmatisme politik yang menutupinya. Pada akhirnya politik lekat sekali dengan konteks kebudayaan dan lebih dari itu peradaban.

Berpolitik untuk pecah

Apabila kita lihat politik kita hingga dewasa ini, konteks konflik yang berujung perpecahan itulah yang menonjol. Kekuatan- kekuatan besar yang ada dalam sejarah politik kita tak luput dari perpecahan. Penyebabnya sering kali sekadar karena perbedaan kepentingan pragmatis antarelitenya. Pragmatisme cepat menenggelamkan ideal kepolitikan, padahal tidak ada imbangan pelembagaan politik yang memadai, sehingga berpolitik sepertinya sekadar untuk berpecah.

Tentu semua itu perlu menjadi bahan evaluasi bersama, betapa politik kita rentan keterpecahan (divergensi) ketimbang konvergensi politik. Tradisi koalisi juga belum mengakar benar di perpolitikan kita. Hakikat koalisi itu penyederhanaan dalam kompetisi politik. Stabilitas presidensial multipartai jelas terkait dengan hal demikian. Idealnya hanya ada dua koalisi besar di parlemen. Itu terjadi sekarang, di mana teoretis bermakna positif. Pasalnya, sepuluh kekuatan politik diringkas saja menjadi dua.

Logika politik parlemen tentu tidak mengabaikan aspek kompetisi. Pembagian kekuasaan, karena itu, menjadi hal yang lazim. Ketika ada konflik yang bertendensi sekadar pembagian jatah kekuasaan mengemuka, pemecahannya sesungguhnya lebih mudah ketimbang konflik ideologis. Selalu ada jalan keluar atas konflik politik pragmatis karena rumusnya sudah jelas pula: negosiasi ulang.

Kita berharap konflik dan konsensus dalam politik kita, di dalam atau luar parlemen, tetap meninggalkan makna. Politik kita harus ke arah politik makna, bukan politik hampa.

M Alfan Alfian
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Menag Cek Hotel dan Bus Jemaah Haji: Semua Baik

Nasional
Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Menerka Peluang Anies dan Ahok Berduet di Pilkada DKI Jakarta

Nasional
Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Gibran Sebut Ada Pembahasan soal Kementerian Khusus Program Makan Siang Gratis, tapi Belum Final

Nasional
Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Pengamat: Jangankan 41, Jadi 100 Kementerian Pun Tak Masalah asal Sesuai Kebutuhan

Nasional
Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Utak-Atik Strategi Jokowi dan Gibran Pilih Partai Politik, PSI Pasti Dicoret

Nasional
Gibran Lebih Punya 'Bargaining' Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Gibran Lebih Punya "Bargaining" Gabung Partai Usai Dilantik Jadi Wapres

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Dianggap Politis dan Boroskan Uang Negara

Nasional
'Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran'

"Golkar Partai Besar, Tidak Bisa Diobok-obok Gibran"

Nasional
Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Prabowo Ingin Tambah Menteri, Wapres Ma'ruf Amin Ingatkan Pilih yang Profesional

Nasional
[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

[POPULER NASIONAL] Jokowi Berkelakar Ditanya soal Pindah Parpol | PDI-P Beri Sinyal di Luar Pemerintahan

Nasional
Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Prabowo Diharap Tetapkan 2 Syarat Utama Sebelum Tambah Kementerian

Nasional
Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Ide Prabowo Tambah Kementerian Sebaiknya Pertimbangkan Urgensi

Nasional
Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Wacana Prabowo Tambah Kementerian Diyakini Bakal Picu Problem

Nasional
Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Tinggalkan KPK, Dirut Nonaktif PT Taspen Irit Bicara Sembari Bawa Sate

Nasional
Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 10 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com