JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, negara semestinya tidak perlu mengatur urusan pernikahan seseorang di dalam aturan perundang-undangan. Negara seharusnya hanya mengatur administrasi pernikahan tersebut agar setiap warga negara tetap mendapatkan haknya.
"Untuk urusan perkawinan ini, negara sebetulnya tidak perlu hadir. Negara cukup memfasilitasi persoalan administratif warga negara," kata Ismail kepada Kompas.com, Jumat (5/9/2014).
Hal itu disampaikan Ismail menyikapi uji materi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan sejumlah mahasiswa dan alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia ke Mahkamah Konstitusi.
Pasal tersebut berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu."
Setara, kata dia, mendukung adanya permohonan uji materi atas pasal itu lantaran merugikan hak-hak warga negara.
Ismail berpendapat, dilihat dari norma agama, Indonesia memang tidak mengakui pernikahan berbeda keyakinan. Namun, ia berpandangan, negara tidak perlu terlalu mencampuri urusan pernikahan dengan membuat suatu aturan yang mengembalikan pada norma agama."Urusan ranjang ini sebetulnya urusan individu, tidak perlu diatur negara. Akan menjadi lebih rumit apabila mencampuradukkan religiositas," katanya.
Terkait hak kependudukan, ia mencontohkan, pasangan beda agama akan kesulitan mendapatkan akta pernikahan. Jika hal itu terus dibiarkan, implikasinya, anak dari pasangan tersebut tidak akan bisa memiliki akta kelahiran.
Padahal, akta kelahiran menjadi salah satu syarat bagi anak tersebut untuk bisa sekolah, mendapat ijazah, memperoleh kartu tanda penduduk, dan mengurus persoalan administratif lainnya.
Ia menambahkan, kantor catatan sipil yang seharusnya dapat menyelesaikan persoalan itu justru menjadi permasalahan tersendiri. Menurut dia, kantor catatan sipil tidak akan serta-merta mengabulkan permohonan akta pernikahan pasangan beda agama.
"Akhirnya, yang terjadi, pasangan yang menikah itu harus mengakali dengan menyuap pegawai kantor tersebut, atau justru berpura-pura pindah agama untuk kemudian kembali lagi ke agama asalnya jika urusan administrasi itu selesai. Kalau sudah begini, ini jadi main-main sama persoalan agama," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.