JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Arie Dwipayana, menilai, pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) merupakan tradisi baru yang berguna. Tradisi itu dinilai perlu dilembagakan supaya komunikasi antara pemerintahan lama dengan pemerintahan baru bisa terjalin secara baik.
"Perlu untuk memperlancar komunikasi antar-elite. Tradisi ini perlu dikembangkan untuk meniatkan proses pemerintahan," ujar Arie saat dihubungi, Kamis (28/8/2014).
Ia menuturkan, proses politik yang bagus berdampak pada keberhasilan proses transisi dari pemerintahan yang lama ke pemerintahan baru. Menurut Arie, tradisi ini perlu dilembagakan dengan cara pemerintah menyepakati mekanisme atau rencana peralihan kekuasaan melalui transisi.
"Supaya proses pengelolaan terencana dengan baik, ada kerja sama antara pemerintah lama dan yang baru, serta ada komunikasi politik," ucap Arie.
Ia menjelaskan, hal tersebut diperlukan karena pada periode-periode sebelumnya peralihan pemerintah berlangsung dengan tiba-tiba dan tidak terencana. Komunikasi yang buruk antara elite pemerintahan lama dengan yang baru mengganggu jalannya proses politik dalam menjalankan program-program penting.
Jokowi yang akan dilantik sebagai presiden ke-7 pada 20 Oktober mendatang akhirnya dapat berbicara empat mata dengan SBY selama 1 jam 50 menit. Mereka bertemu sejak pukul 21.00 hingga pukul 22.50 di sebuah spa and resort di Nusa Dua, Bali.
Dalam keterangan pers seusai pertemuan, Presiden menyatakan, pembicaraan yang dilakukan bersama Jokowi meliputi berbagai agenda kenegaraan dan pemerintahan, terutama agenda pada akhir tahun 2014 dan awal 2015.
Keduanya sepakat agar pembicaraan ditindaklanjuti secara lebih teknis antara Tim Transisi Jokowi-JK dan jajaran pemerintahan sekarang.