"Berkaca dari penyelenggaraan pileg lalu, potensi kecurangan diprediksi akan lebih masif dibandingkan dengan pelaksanaan pada pileg lalu. Hal ini disebabkan oleh semua struktur penyelenggara yang sulit untuk tetap netral. Pada kondisi ini, kecenderungan terjadi simbiosis mutualisme antara timses dan penyelenggara pemilu di semua tingkatan," kata pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad), Muradi, kepada Kompas.com, Senin (7/7/2014).
Muradi memaparkan, potensi kecurangan itu bisa terjadi karena kesiapan dan profesionalitas penyelengara pemilu yang masih minim. Ia pun menilai potensi kecurangan terjadi sejak dari tingkat RT.
"Struktur birokrasi yang dibawahi oleh timses capres di tingkat provinsi hingga struktur terkecil di tingkat RT/RW. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu capres mengondisikan ketua timses di provinsi hingga kabupaten/kota adalah kepala daerah yang berasal dari partai koalisinya," papar Muradi.
Lebih jauh, Muradi juga menyebutkan adanya manuver oknum institusi keamanan dari tiga institusi terkait (TNI, Polri, BIN). Langkah ini dilakukan, baik sistematis maupun tidak sistematis, mengikuti irama politik yang terjadi dan terkondisikan.
"Sampai saat ini, institusi keamanan tampak belum sepenuhnya menjalankan komitmen netral dan menjaga jarak dari politik praktis," ujar Muradi.
Tak hanya itu, Muradi juga mewanti-wanti potensi keterlibatan birokrat dan keamanan dalam pilpres mendatang. Ia menilai praktik politk uang akan mendominasi kecurangan tersebut.
"Politik uang yang melibatkan jual beli suara, yang melibatkan unsur masyarakat dalam melakukan mobilisasi publik. Langkah ini disinyalir melibatkan unsur birokrat dan oknum aparat keamanan," kata Muradi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.