JAKARTA, KOMPAS.com - Pegawai yang bekerja di pemerintahan daerah berpotensi korupsi 1,6 kali lebih tinggi dibandingkan pegawai yang bekerja di kantor pemerintahan pusat. Hal ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2009/2010.
"Pada riset PPATK 2009/2010 ditemukan bahwa seseorang yang berkarir jadi pegawai pemda potensi korupsinya 1,6 kali (lebih tinggi) dibandingkan pegawai negeri di pusat," kata Wakil Kepala PPATK Agus Santoso saat ditemui di kediamannya, Minggu (22/6/2014).
Menurut Agus, pegawai negeri di Pemda lebih berpotensi melakukan korupsi karena pengaruh lingkungan kerja. Ada kecenderungan atasan mereka, yakni para kepala daerah melakukan korupsi birokrasi. Para kepala daerah tersebut, katanya, cenderung menggunakan stafnya untuk korupsi.
Agus juga mengatakan, data dari KPK menunjukkan adanya 300 kepala daerah yang berpotensi melanggar hukum terkait dengan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah.
Data KPK tersebut, katanya, senada dengan hasil riset yang dilakukan PPATK. Menurut Agus, indikasi korupsi kelapa daerah sudah tergambarkan dari proses pemilihan kepala daerah yang mereka ikuti sebelumnya. Ada kecenderungan kepala daerah yang korupsi saat menjabat pernah memiliki transaksi mencurigakan ketika masih menjadi calon kepala daerah.
"Terkonfirmasi riset PPATK, kepala daerah terlapor tetap terlapor. Modusnya berubah menjadi korupsi birokrasi, menggunakan stafnya untuk melakukan korupsi," ujar Agus.
Dia juga menyebutkan, hasil riset PPATK menunjukkan adanya potensi penyimpangan dana bantuan sosial di pemerintahan daerah. Dana bansos atau hibah diduga diselewengkan untuk mengumpulkan modal kampanye pemilu/pemilkada.
"Modusnya membuat koperasi yang sudah mati dan hidup kembali, LSM-LSM bentukan baru dan bantuan-bantuan kepada konstituen, jadi ada rekayasa-rekayasa. Yang kita temukan juga uang-uang itu digunakan untuk money politic ketimbang tujuan mulianya," kata Agus.
Terkait pemilihan legislatif 9 April lalu, katanya, PPATK menemukan transaksi mencurigakan sekitar Rp 11 miliar. Diduga, transaksi ini berkaitan dengan jual beli kursi dan terkait seorang kepala daerah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.