KOMPAS.com - Melihat Partai Demokrat yang didirikan Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2001 dan kini diketuainya seperti melihat satu lintasan matahari. Mulai terlihat sinarnya pada Pemilu 2004, terang benderang pancar cahayanya di Pemilu 2009, dan saat ini meredup seperti senja di Pemilu 2014.
Lintasan matahari yang tengah dilalui Partai Demokrat ini memang seperti hukum alam yang tidak bisa dilawan. Hukum alam itu dilahirkan gerakan reformasi soal pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode dalam konstitusi. Secara sederhana, hukum alam itu adalah larangan bagi Yudhoyono melanjutkan pemerintahan di periode ketiga.
Karena ini, meskipun perolehan suara di Pemilu 2014 lebih tinggi dari Pemilu 2004, Demokrat tidak punya banyak ruang gerak. Dengan suara 7,45 persen pada Pemilu 2004, Demokrat lebih bersinar dan memikat dibandingkan dengan perolehan suara 10,19 persen di Pemilu 2014.
Seperti terang benderang di Pemilu 2009 yang tidak datang tiba-tiba, begitu juga redupnya senja pada Pemilu 2014. Sebagai politisi yang rasional dan percaya instrumen modern untuk mengukur suhu publik, Yudhoyono percaya betul dengan hasil survei dengan metodologi yang benar. Dengan survei, senja bagi Demokrat sebenarnya sudah terasa medio 2011 saat muncul kasus korupsi yang melibatkan Bendahara Umum Demokrat M Nazaruddin. Kasus korupsi ini ternyata tidak berdiri sendiri. Sejumlah elite, juga bintang iklan anti korupsi, Demokrat terseret. Puncak seretannya ada pada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, pada akhir 2012.
Berdasarkan survei Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani Research and Consulting, dan Indikator, kasus korupsi inilah yang menyeret Demokrat ke posisi paling rendah sepanjang sejarahnya sebagai partai penguasa. Tiga kali menaikkan harga bahan bakar minyak pada periode pertama memang menurunkan elektabilitas Demokrat hingga 9 persen. Namun, kasus korupsi yang merebak di periode kedua membuat elektabilitas Demokrat terjun hingga 8 persen (Desember 2012).
Berbekal rasionalitas ini, Yudhoyono mengambil langkah politik lantaran langkah-langkah ekonomi untuk menaikkan elektabilitas tidak berbuah. Karena kasus korupsi, kondisi ekonomi yang membaik dengan sejumlah capaian tak menaikkan elektabilitas Demokrat.
Menahan dan menaikkan
Banyak pihak mempertanyakan langkah politik Yudhoyono, Presiden RI dua periode, yang "turun" menjadi Ketua Umum Partai Demokrat setelah Anas berhenti setelah jadi tersangka kasus korupsi. Namun, langkah ini terbukti membawa hasil positif. Dalam waktu satu tahun, Yudhoyono tidak hanya mampu menahan merosotnya elektabilitas, tetapi juga menaikkannya. Memang tidak setinggi Pemilu 2009 dengan 20,85 persen. Namun, hasil 10,19 persen di tengah hantaman kasus korupsi dan minimnya dukungan dana bukan hasil yang buruk.
Tidak hanya "turun" sendiri, Yudhoyono juga menurunkan banyak pejabat yang bersinar untuk mendongkrak elektabilitas Demokrat pada Pemilu 2014. Sebelas orang terdiri atas pejabat dan mantan pejabat "turun" menjadi peserta konvensi calon presiden Partai Demokrat. Meskipun tidak mampu menghasilkan pemenang yang bisa bersaing secara seimbang dengan capres lain, konvensi adalah upaya gigih melawan senja agar tidak datang pada hari pencoblosan. Kehadiran 11 tokoh konvensi yang relatif bersih sedikit menghapus ingatan pemilih soal kasus korupsi di jajaran elite Demokrat yang berlanjut bahkan sampai saat ini.
Namun, selamat di perolehan 10,19 persen tidak membuat Demokrat terlihat menggeliat menatap Pemilu Presiden 2014. Dengan syarat harus memiliki 20 persen suara nasional atau 25 persen kursi di DPR, upaya memajukan capres sendiri langsung terganjal. Selain itu, konvensi yang dilaksanakan delapan bulan dengan pemenang Dahlan Iskan tidak cukup kompetitif dengan capres lain, yaitu Joko Widodo (PDI-P) dan Prabowo Subianto (Gerindra). Jika disandingkan, elektabilitas Dahlan dalam sejumlah survei sekitar 3 persen, sementara Jokowi 40 persen dan Prabowo 30 persen.
Rasionalitas survei inilah yang membuat Yudhoyono merasa terbatasi pilihan langkahnya dan tahu diri menatap Pilpres 2014. Pilihan membuka poros ketiga memang terbuka saat komunikasi intensif dengan Partai Golkar yang sudah mendeklarasikan Aburizal Bakrie sebagai capresnya. Namun, Yudhoyono adalah politisi rasional dan tahu betul lembaga survei mana yang bisa dipercaya. Sekali lagi, elektabilitas adalah ganjalannya.
Di antara keterbatasan pilihan di ujung lintasan matahari itu, gelap ada di hadapan. Dalam gelap itu, bisa jadi ada purnama. Mau mengupayakan purnama dengan poros ketiga atau menunggu fajar esok pagi dengan jadi oposisi. (Wisnu Nugroho)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.