JAKARTA, KOMPAS.com - Konflik internal Partai Persatuan Pembangunan yang dalam beberapa hari belakangan menghiasi berita sejumlah media massa akhirnya dapat diselesaikan pada Kamis (24/4/2014). Dalam acara Musyawarah Kerja Nasional III di Bogor, secara terbuka Ketua Umum PPP Suryadharma Ali mengakui kesalahan serta memohon maaf kepada semua pengurus dan kader PPP.
Konflik di PPP mulai tercium publik saat Suryadharma menghadiri kampanye Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di Gelora Bung Karno, 23 Maret 2014.
Pada 13 April 2014, sebanyak 26 dari 34 Dewan Pimpinan Wilayah PPP meminta dewan pimpinan pusat partai itu menggelar rapat pleno untuk meminta pertanggungjawaban langkah Suryadharma tersebut. Suryadharma menjawab gerakan DPW PPP itu dengan memecat Wakil Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa dan lima unsur pimpinan DPW PPP, serta menyatakan dukungan bagi calon presiden (capres) dari Partai Gerindra Prabowo, Subianto.
Jalan keluar konflik mulai terlihat setelah Ketua Majelis Syariah PPP KH Maimun Zubair mengeluarkan fatwa, yang antara lain meminta pihak-pihak yang berseteru segera melakukan islah atau upaya damai. Dengan adanya islah, berarti tidak terjadi pemecatan dan rotasi. Selain itu, PPP juga belum menyatakan koalisi dan menentukan capres dan calon wakil presiden (cawapres).
Dinamika internal belakangan ini sebenarnya tidak hanya terjadi di PPP. Sejumlah kader Partai Golkar juga mulai mempertanyakan pencapresan ketua umum partai itu, Aburizal Bakrie.
Konvensi pemilihan calon presiden dari Partai Demokrat juga di simpang jalan menyusul perolehan suara partai itu di pemilu legislatif lalu yang hanya sekitar 10 persen menurut hitung cepat sejumlah lembaga. Akibatnya, Partai Demokrat tak dapat mengajukan sendiri pasangan capres-cawapres.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden mensyaratkan, pasangan capres dan cawapres diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu yang memperoleh paling sedikit 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam pemilu legislatif.
Titik krusial
Berbagai dinamika itu terjadi karena dalam praktik politik Indonesia selama era reformasi, pemilu menjadi salah satu dari tiga titik krusial bagi parpol dan politikus. Dalam pemilu, titik krusial dimulai saat penetapan daftar calon anggota legislatif, penetapan caleg terpilih, hingga penentuan dukungan/koalisi capres-cawapres dan penyusunan kabinet.
Dua titik krusial lain adalah saat pemilihan/pergantian pengurus parpol dan pemilihan kepala daerah. Dalam pergantian pengurus, titik krusial terjadi saat perebutan posisi ketua dan pembentukan pengurus. Sementara di pilkada, titik krusial muncul saat penentuan calon yang diusung dan koalisi parpol pendukung.
Sejarah menunjukkan, keretakan atau perpecahan sering terjadi dalam titik-titik krusial tersebut. Surya Paloh mendirikan ormas Nasional Demokrat dan kemudian Partai Nasdem setelah dikalahkan Aburizal Bakrie dalam pemilihan ketua umum Partai Golkar.
Perebutan kekuasaan
Pemilu, pilkada, dan pergantian pengurus parpol menjadi titik krusial karena pada saat itulah terjadi perebutan kekuasaan politik yang umumnya berimplikasi kepada sumber daya ekonomi.
Gagal diusung di pilkada atau masuk dalam daftar caleg berarti gagal atau tertundanya merintis karier politik menjadi kepala daerah atau legislator. Sementara kalah dalam perebutan posisi pimpinan partai berarti hilangnya peluang untuk mengurus partai berikut berbagai efek ikutan di dalamnya.
Salah memilih rekan koalisi bisa berakibat kalah di pilkada atau pemilu. Kekalahan itu bisa berarti kegagalan masuk kabinet/pemerintahan.
Dalam politik Indonesia, kekuasaan politik berimpitan dengan sumber daya ekonomi. Untuk merebut kekuasaan politik, umumnya dibutuhkan modal ekonomi. Sebaliknya, dengan punya kekuasaan politik, terbuka peluang untuk mendapatkan akses ekonomi.