JAKARTA, KOMPAS.com - Ratusan tempat pemungutan suara (TPS) mendapat surat suara yang tidak tepat saat pemungutan suara pemilu legislatif dilangsungkan, Rabu (9/4/2014). Kejadian yang sama sudah terjadi pada Pemilu 2009.
Seharusnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) belajar dengan menjalankan sistem kontrol yang lebih baik dan ketat. Ratusan ribu pemilih yang menggunakan hak suara di tidak kurang dari 590 TPS yang tersebar di 90 kabupaten/kota di 23 provinsi terpaksa melakukan pencoblosan ulang pada waktu yang dijadwalkan KPU kabupaten/kota setempat. Gara-garanya, surat suara yang mereka dapat bukan yang seharusnya mereka coblos. Calon anggota legislatif (caleg) yang tertera di surat suara bukan yang bertanding di daerah pemilihan (dapil) mereka.
KPU terbuka terhadap atas kinerja jajarannya. Adanya TPS yang mengalami surat suara tertukar bahkan diakui sendiri oleh KPU. Namun, hal itu tidak serta-merta menghilangkan ketidakcermatan KPU pada pemilih dan caleg yang bertarung di dapil yang bersangkutan.
"Ini sangat disayangkan karena hak pemilih untuk memilih caleg di dapilnya terlanggar. Hak caleg untuk dapat dipilih konstituennya juga terlanggar. Ini preseden buruk," kata Penasehat Pemantau Kemitraan Wahidah Suaib, Jumat (11/4/2014) di Jakarta.
Dengan laporan yang diterima KPU dari KPU kabupaten/kota, artinya jika rata-rata jumlah pemilih 400 orang per tempat TPS, maka ada 236.000 orang pemilih yang harus dua kali datang ke TPS untuk ikut pemungutan suara ulang.
Wahidah mengatakan, dibandingkan komisioner KPU periode lalu, kebijakan komisioner kali ini memang lebih baik dalam menindaklanjuti kesalahan ini. Berbeda dari Pemilu 2009, kejadian surat suara tertukar kali ini ditindaklanjuti dengan penetapan pemungutan suara ulang. "Jadi, KPU mengembalikan hak pemilih dan caleg yang sempat hilang," kata mantan anggota Bawaslu itu.
Akan tetapi, tentu masalah bukan sekadar pengembalian hak memilih dan dipilih. KPU masih punya masalah untuk tetap menjaga animo masyarakat dalam memilih wakilnya untuk kedua kalinya. Hal itu karena puncak pemilu tentu sudah terjadi pada 9 April 2014.
"Apa KPU juga bisa menjamin orang bisa memilih (lagi)? Apakah orang kerja bisa libur, sementara bosnya tidak libur?" kata Wahidah.
Masalah yang paling besar dari ranah pemilih adalah partisipasi pemilih. Terlebih, KPU sudah menyatakan optimismenya bahwa target partisipasi pemilih pada pemilu ini mencapai target, yaitu 75 persen, bahkan melampauinya, yaitu 80 persen. Masihkah optimisme dapat terbukti jika ternyata ada ratusan ribu orang pemilih terancam tidak dapat menggunakan suaranya kembali?
Bukan cuma soal partisipasi, kecenderungan pilihan pemilih juga terganggu. Caleg yang di dapilnya diselenggarakan pemungutan suara ulang dapat kembali melakukan kampanye untuk memengaruhi pemilih untuk mencoblos namanya. Jadi, bukan cuma pemilih yang rugi, caleg juga begitu.
Karena itu, kata Wahidah, KPU harus mengusut tuntas faktor penyebab tertukarnya surat suara yang sebarannya masif. "Apakah semata karena faktor teknis atau faktor lain yang lebih dari itu?" kata dia. Jika tidak, kata Wahidah, maka kasus ini bisa mencoreng integritas penyelenggaraan Pemilu 2014 di tengah apresiasi banyak pihak yang menilai pemilu kali ini lebih baik daripada pemilu terdahulu.
Di sisi lain, KPU membela diri dengan mengatakan bahwa tertukarnya surat suara itu merupakan faktor kelalaian semata. Komisioner KPU Arief Budiman menampik kecurigaan bahwa kesalahan penempatan surat suara tersebut merupakan faktor kesengajaan. Menurutnya, penyortiran surat suara menjadi tanggung jawab KPU kabupaten/kota. Ia berdalih, ada ratusan petugas sortir yang memisahkan surat suara berdasarkan daerah pemilihannya.
"Sebelum mereka melipat dan sortir sudah di-briefing, Anda di dapil ini dan dapil sekian," ujarnya.
Arief menuturkan, penyortiran surat suara memang tidak dilakukan ulang lembar per lembar oleh staf KPU kabupaten/kota. Pengecekan ulang hanya dilakukan berdasarkan jenis kelembagaan surat suara, yaitu DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
"Satu TPS itu paling yang tertukar hanya lima lembar. Kalau ada niat merekayasa, tentu tidak sejumlah itu. Pasti dalam jumlah yang lebih signifikan," ujar mantan anggota KPU Jawa Timur itu.
Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay Hadar mengakui bahwa KPU memang melakukan kekeliruan atas kasus tersebut. Karena itu, kata dia, untuk menebus kesalahan itu, KPU kabupaten/kota menetapkan pemungutan suara ulang berdasarkan surat edaran Ketua KPU.
"Kalau kemudian ada risiko partisipasi menurun atau anggaran yang harus keluar lagi, itu risiko. Tapi kami tidak malu mengaku kami salah. Akan lebih kacau kalau tidak diulang," kata Hadar.
Karena itu, Hadar mengatakan, KPU akan mengevaluasi sistem distribusi logistik dan kontrol atasnya, demi tetap menjaga integritas pemilu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.