Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hikmahanto: Pembayaran Diat Satinah oleh Pemerintah Jadi Preseden Buruk

Kompas.com - 04/04/2014, 08:34 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com
— Pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai, keputusan pemerintah membayarkan diat kepada keluarga korban pembunuhan di Arab Saudi yang dilakukan oleh warga negara Indonesia, Satinah, bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan selanjutnya.

"Siapa pun yang akan memimpin pemerintahan ke depan akan dalam posisi dilematis. Bila tidak membayar uang diat, seolah kinerja mereka dinilai buruk dibandingkan kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono," kata Hikmahanto, Kamis (3/4/2014), seperti dikutip dari Antara.

Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum UI itu mempertanyakan apakah yang dilakukan oleh pemerintah itu sudah tepat. Hal yang sama juga pernah dilakukan pada 2011 dengan membayar diat terpidana mati Darsem.

Namun, kata Hikmahanto, terhadap Satinah, memang ada sedikit perbedaan. Uang yang digunakan bukan semata-mata dari APBN, melainkan dari sejumlah sumbangan, termasuk dari masyarakat.

"Pertanyaannya, ke depan, berapa besar diat yang akan dimintakan oleh keluarga korban bila kali ini sudah hampir empat kali lipat uang yang dikeluarkan untuk menebus nyawa Darsem?" ujarnya.

Menurut dia, pemerintah sebenarnya tahu, sebagaimana diungkap oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto, bahwa di belakang tuntutan diat ada mafia. Pemerintah, lanjut Hikmahanto, juga tahu bahwa Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan batas maksimum untuk pembayaran diat.

Namun, ujarnya, pemerintah telah mengabaikan semua itu karena ingin menyelamatkan nyawa Satinah.

"Pertanyaannya apakah benar nyawa Satinah yang hendak diselamatkan? Ataukah ada motivasi lain di tahun politik ini yang tidak terlalu lama lagi akan dilakukan pemilu legislatif? Apakah ini upaya untuk meningkatkan elektabilitas dari partai berkuasa?" ujarnya.

Semua jawaban, kata dia, tentu hanya ada di para pengambil keputusan.

Ia menyinggung sikap Presiden Yudhoyono beberapa waktu lalu yang meminta masyarakat untuk mempertimbangkan aspek keadilan bila jumlah diat yang fantastis harus ditanggung oleh pemerintah.

"Ini pun menjadi pertanyaan apakah tidak ada koordinasi antara Presiden dan para pembantunya saat diputuskan pemerintah membayar diat Satinah?" katanya.

Lebih janggal lagi, tambah Hikmahanto, dalam pembayaran diat, pemerintah telah mengambil posisi sebagai pengacara dan keluarga Satinah dengan melakukan negosiasi ke keluarga korban. Padahal, katanya, negosiasi dan pembayaran seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan, keluarga Satinah, atau pengacaranya.

Dalam konsep diat, hubungan antara pelaku kejahatan dan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual. Dalam konsep tersebut tidak seharusnya pemerintah mengambil peran. Karena dengan membayar diat, pemerintah telah menumbuhsuburkan komersialisasi diat dengan mafianya.

Bahkan, katanya, pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan mudah bagi pembebasan Satinah. "Padahal, orang bersalah, meski derajatnya sangat rendah, seharusnya tetap menjalani hukuman. Dengan pembayaran diat, seolah kejahatan yang pernah dilakukan serta-merta terhapus," ujar Hikmahanto.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk 'Presidential Club'...

Maksud di Balik Keinginan Prabowo Bentuk "Presidential Club"...

Nasional
Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Resistensi MPR Usai PDI-P Harap Gugatan PTUN Bikin Prabowo-Gibran Tak Dilantik

Nasional
“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com