KOMPAS.com - ALIH-alih menjadi calon anggota legislatif, Diana Sastra justru menjadi anggota staf Komisi Pemilihan Umum, bahkan menggantikan Menteri Dalam Negeri untuk menjelaskan pentingnya pemilihan umum dan pentingnya suara rakyat.
Penyanyi tarling (gitar suling), musik khas Cirebon, itu, Selasa (1/4), mengubah tiga titik keramaian di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, yakni pusat batik Trusmi, Pasar Sumber, dan depan kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi panggung suara rakyat. Ia mengamen dan berparodi, mengingatkan masyarakat yang begitu lama memimpikan pemimpin yang bisa melayani (menjadi bujang) rakyat.
Memakai rok terusan lengan pendek warna-warni dengan bagian bawah mengembang dan wig berjumbai warna-warni, penyanyi yang dijuluki ”Diva Tarling Pantura (Pantai Utara)” itu atraktif dan habis-habisan menyanyi. Wajahnya dicat total merah putih menjadi mirip badut. Ia memakai sepatu kets dan berkaus kaki coklat saat bernyanyi dan berjoget. Penampilannya menarik perhatian banyak orang di setiap titik yang dikunjunginya. Saat ia menyanyi, puluhan pedagang dan warga di sekitar Trusmi dan Pasar Sumber hanyut ikut berjoget dan bersorak-sorai. Di depan kantor KPU Kabupaten Cirebon, puluhan orang berebut mengambil foto dan bergembira bersamanya.
Tak ada maksud mempromosikan album atau lagu baru. Diana hanya ingin menyanyikan kegelisahan hatinya saat ini sebagai seniman tarling Cirebon. Begitu gelisahnya sehingga saat pencipta lagu tarling, Pendi Gondrong, menyodorkan lagu itu, ia langsung menerima dan merencanakan untuk ngamen gratis menyanyikan lagu itu. Masukan dari seorang kawan turut mendorongnya menyanyikan kritik sosial berjudul ”Bujange Rakyat”. Begini kutipan lagunya.
”Ngomong muluk-muluk janjine sing empuk-empuk
Dadi pemimpin aja uncang-uncang angguk
Dadi pemimpin rakyat angger ngeplak batuk....
Dasare wong bodo isuk-isuk nggiring kebo
Awas dibebodo aja ndeleng duit ijo... kaya buta ijo...
Yen dadi wong pinter awas aja keblinger
Otak si komputer yen ngomong diputar puter
Gawe rakyat keder... gawe endas mblenger....”
Lirik lagu itu berisi sindiran dan pesan kepada pemimpin dan calon pemimpin masa kini yang banyak bicara muluk dan berjanji yang enak-enak. Ketika menjadi pemimpin, ia manggut-manggut dan bersantai, sedangkan rakyatnya tetap saja pusing menepuk dahi karena kehidupan yang makin susah.
Berikutnya Diana mengajak rakyat agar tak lagi mau dibodohi dan termakan iming-iming uang dari calon pemimpin. Dengan liriknya yang jenaka, ia melanjutkan lagu itu dengan menganalogikan rakyat yang matanya hijau saat melihat uang mirip dengan buta ijo (raksasa hijau).
Begitu halnya pemimpin yang adalah ”orang pinter” diingatkan agar tidak keblinger, lupa diri, dan tak mawas diri sehingga dengan kepintarannya ia membolak-balik kata. Perbuatan pemimpin yang semacam itu membuat rakyat jadi bingung.
Tiga anggota Dian Prima, grup tarling yang dipimpin Diana, memerankan wakil rakyat dan rakyatnya. Dua orang yang berperan sebagai wakil rakyat berpakaian rapi, licin, bersepatu, dan mengenakan kacamata hitam. Satu orang lainnya memerankan rakyat yang berpakaian compang-camping sembari memanggul beras.