Oleh Ikrar Nusa Bakti

KOMPAS.com - SEPANJANG tahun 2013, kita mendapatkan kado yang amat manis dari Komisi Pemberantasan Korupsi. Satu demi satu koruptor kakap ditangkap dan dipenjarakan KPK.

Ada yang berprofesi sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (Akil Mochtar), ada guru besar yang amat dikagumi para mahasiswanya (Rudi Rubiandini), ada pula yang kebetulan menjadi perempuan gubernur pertama di Indonesia yang menjabat sebagai Gubernur Banten (Ratu Atut Choisyiah), dan masih banyak nama lain. Sepak terjang KPK yang begitu mengagumkan itu ternyata belum mendongkrak Indeks Persepsi Korupsi Indonesia.

Pada 2010, Indonesia menempati urutan ke-110 dari 178 negara dengan nilai 28, pada 2011 menduduki peringkat ke-100 dari 182 negara dengan nilai 30, pada 2012 turun menjadi ke-118 dari 176 dengan nilai 32, dan pada 2013 naik sedikit menjadi ke-114 dari 177 negara dengan nilai yang masih 32. Masih sulit bagi kita untuk mencapai nilai di atas 85 seperti yang dicapai Singapura.

Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pada 2013 Indonesia masih menempati urutan ke-121 (naik tiga tingkat dari 124 pada 2012). Posisi Indonesia masih di bawah Singapura (18), Brunei (30), Malaysia (64), dan Filipina (114), walau masih di atas Vietnam (127), Kamboja (138), Laos (138), dan Myanmar (149). Namun, dari sisi jumlah kematian ibu setelah melahirkan, ranking Indonesia termasuk yang terendah di Asia dan di Asia Tenggara, bahkan di bawah Vietnam! Setiap lima juta ibu melahirkan, 20.000 meninggal atau 1 berbanding 65. Ini amat jauh di bawah Thailand yang 1:1.100. Rata-rata orang Indonesia yang bersekolah juga masih rendah, sekitar 6,7 untuk anak laki-laki dan 5,9 untuk anak perempuan.

Bagaimana dengan wajah industri dan perekonomian Indonesia? Data yang dirangkum Pusat Penelitian Ekonomi LIPI menunjukkan bahwa daya saing ekonomi Indonesia pada 2013 stagnan, hanya naik dari posisi 129 ke 128. Dari sisi 64 komoditas ekspor hanya empat yang mengalami peningkatan daya saing, sementara 28 tetap berdaya saing, 12 mengalami penurunan daya saing, dan 20 tetap tidak berdaya saing. Penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun dari 13,2 persen pada 2002 menjadi 12,9 persen pada 2013, sementara porsi kredit perbankan menurun tajam dari 37,6 persen (2002) menjadi 24,0 persen pada September 2013. Ditinjau dari sumber daya manusia dan sistem pengupahan, tingkat produktivitas hanya 74,9 persen dari China, 92,6 persen dari Filipina, dan hanya 51,7 persen dari Thailand, sementara peningkatan upah minimum tertinggi di Asia.

Satu sisi yang menarik, Indonesia cenderung lebih liberal dengan pungutan tarif bea masuk yang amat rendah. Namun, dari sisi bunga bank, Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan China yang hanya 5-6 persen, sementara Indonesia masih 12-13 persen. Rencana Aksi di China juga lebih jelas dibandingkan dengan Indonesia, sementara komitmen Indonesia menciptakan lingkungan bisnis yang baik semakin dikalahkan oleh Vietnam. Penurunan angka kemiskinan di Indonesia juga amat rendah, 34,96 juta pada Maret 2008 menjadi 28,59 juta pada September 2012. Tingkat pengangguran terbuka usia muda di Indonesia termasuk tertinggi di Asia Pasifik, yakni 19,9 persen, dan mereka yang menganggur lebih banyak di perkotaan ketimbang di pedesaan. Kita juga masih mengalami ketimpangan, baik secara horizontal maupun vertikal, termasuk ketimpangan pembangunan antardaerah yang kian merisaukan.

Tujuh variabel penentu

Gambaran di atas menunjukkan betapa pasangan calon presiden dan wakil presiden pada pemilu presiden langsung 9 Juli 2014 benar-benar memiliki beban yang berat untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik pada 2014-2019. Jargon-jargon politik seperti ”Katakan tidak pada korupsi” sudah pasti tidak laku lagi dijual kepada rakyat. Persepsi pemimpin/presiden di mata rakyat juga sangat berubah dari yang dulu harus berasal dari militer, kuat, tegas, menjadi jujur, merakyat, berani mengambil risiko dalam membuat kebijakan, dan siap bekerja keras. Kriteria pandai pun bukan menjadi penentu keterpilihan seseorang, apalagi tidak sedikit orang pandai yang terkena kasus korupsi.

Keterpilihan pasangan calon presiden/wakil presiden amat ditentukan paling sedikit oleh tujuh variabel, yaitu elektabilitas, mesin partai, kemampuan finansial, program, luas jejaring sosial, kontra politik hitam, dan momentum politik yang ada. Dari sejumlah survei, seperti yang dilakukan LIPI, CSIS, Indo Barometer, Indikator Politik Indonesia, dan The Indonesian Institute, tak diragukan lagi elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) sebagai capres tetap memiliki posisi tertinggi dibandingkan dengan Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla, Megawati Soekarnoputri dan lain-lain. Namun, variabel-variabel lain bisa saja menjungkirbalikkan tingkat keterpilihan Jokowi pada Pilpres 2014.

Sampai saat ini, Jokowi belum secara resmi dideklarasikan sebagai capres Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Karena itu, Jokowi belum memiliki mesin partai yang mampu disiapkan dan digerakkan untuk pemenangan Jokowi. Informasi yang berkembang menyatakan, ada empat opsi pendeklarasian Jokowi sebagai capres PDI-P, yaitu pada 10 Januari 2014 saat PDI-P merayakan ulang tahun ke-40, pada awal kampanye legislatif, pada masa akhir kampanye legislatif, atau setelah pemilu legislatif. Padahal, hasil survei indikator politik Indonesia dan The Indonesian Institute menunjukkan bahwa perolehan suara PDI-P pada Pemilu Legislatif 2014 akan meroket tajam menjadi 37,8 persen jika deklarasi dibuat sebelum pemilu legislatif dan terjun bebas menjadi 14,4 persen jika Jokowi tidak dicalonkan oleh PDI-P.

Pasangan capres/cawapres juga harus memiliki dukungan finansial yang tinggi. Dari sisi ini, posisi partai yang sedang berkuasa atau berada di kubu oposisi tentunya memiliki kapasitas finansial yang berbeda. Pasangan capres dan cawapres juga harus memiliki tim sukses yang mempersiapkan program yang akan dijual dan juga bagaimana memasarkannya melalui kampanye, termasuk saat terjadi debat publik secara langsung yang diliput televisi. Kepemilikan data yang akurat, kemampuan menjual program, penguasaan masalah, political branding, dan juga cara capres/cawapres berdebat dalam debat publik itu juga akan menentukan apakah rakyat akan menjatuhkan pilihan kepada mereka.

Apabila dilihat dari jejaring sosial yang dimiliki setiap pasangan, Jokowi tampaknya memiliki jejaring sosial tersebut secara luas di hampir seluruh wilayah Indonesia. Tidak sedikit relawan yang secara sukarela mau berkampanye untuk dirinya, khususnya anak-anak muda dan mereka yang aktif di media sosial. Namun, apabila politik hitam dimainkan oleh partai ataupun pasangan calon yang memiliki kedekatan atau akses ke institusi-institusi negara yang mampu melakukan kampanye hitam ataupun propaganda politik yang negatif, ini dapat saja mengurangi tingkat keterpilihan partai pengusung ataupun pasangan yang menjadi target operasi politik hitam tersebut.

Indikasi politik hitam

Politik hitam bisa kita lihat dari upaya penggelembungan daftar pemilih tetap seperti yang terjadi pada Pilkada Papua 2012, Pilkada Jatim 2008, dan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2009. Anehnya, peningkatan jumlah pemilih yang amat drastis di sejumlah wilayah justru dilegalisasikan oleh aparat pemerintahan kementerian dalam negeri. Politik demografi yang kotor inilah yang menyebabkan persoalan daftar pemilih tetap (DPT) masih menjadi isu pada Pemilu 2014 ini.

Hingga kini juga masih ada kekhawatiran bahwa militer dan institusi intelijen digunakan untuk kepentingan politik 2014. Karena itu, persoalan digunakannya Lembaga Sandi Negara sempat menjadi isu yang panas sebelum Komisi Pemilihan Umum menghentikan rencana kerja sama dengan Lembaga Sandi Negara dalam menjaga data pemilu. Tumbuhnya lembaga-lembaga survei yang abal-abal juga mencerminkan ada upaya memanipulasi pilihan rakyat. Belum lagi soal betapa sulitnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menelusuri aliran dana parpol dan tokoh politik yang bakal maju sebagai capres/cawapres atau caleg.

Berbagai indikasi adanya politik hitam pada Pemilu 2014 menjadikan kita harus waspada dan bahu-membahu untuk menjaga agar perhelatan demokrasi yang amat akbar ini tidak dikotori oleh cara-cara berpolitik semacam itu. Apabila upaya pencegahan tak dilakukan, bukan hanya demokrasi hitam yang bermain di Indonesia, melainkan demokrasi kaum penjahat akan tetap ada di negeri ini.

Ikrar Nusa Bhakti, Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI