Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Alasan PKS Tak Tarik Menteri di Kabinet

Kompas.com - 21/06/2013, 12:58 WIB
Sabrina Asril

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid menegaskan, partainya tidak akan menarik tiga menterinya di Kabinet Indonesia Bersatu II. Menurut Hidayat, partainya hanya ingin menaati konstitusi yang dalam hal ini para menteri itu hanya bisa dicopot oleh Presiden.

"Acuan kami undang-undang, parpol tidak diberikan hak untuk menarik menteri. Itu hak Presiden. Kalau kami menarik dan melanggar konstitusi, kita digebukin lagi," ujar Hidayat dalam acara diskusi di Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jumat (21/6/2013).

Sebelumnya, keberadaan PKS di dalam koalisi terancam akibat sikap partai ini yang menolak rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Sikap PKS bertolak belakang dengan partai koalisi lainnya. Suara agar PKS mundur pun semakin kencang pascarapat paripurna beberapa waktu lalu.

Jika PKS keluar dari koalisi, maka posisi tiga menterinya terancam. PKS kini menempatkan tiga menterinya di Kabinet Indonesia Bersatu II, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring, Menteri Pertanian Suswono, dan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufrie.

Hidayat menyadari, sikap PKS yang bergeming dari tuntutan keluar dari koalisi mengundang cibiran dari sejumlah politisi. "Di media, PKS dikatakan banci, tidak tahu malu. Kami minta juga agar code of conduct jangan ditutupi dan dibaca setengah-setengah," katanya.

Hidayat pun meminta agar Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha membaca kontrak koalisi secara menyeluruh. "Jangan menutup-nutupi, jadi media bisa menukil dengan jelas. Harusnya dijelaskan secara utuh," imbuhnya.

Seperti diketahui, Fraksi PKS dalam rapat paripurna, Senin (17/6/2013), memutuskan menolak RAPBN-P 2013 karena PKS menolak adanya kenaikan BBM bersubsidi. Sikap Fraksi PKS ini bertolak belakang dengan tiga menteri asal PKS di Kabinet Indonesia Bersatu II.

Apa sanksi PKS?

Di dalam kontrak koalisi yang disepakati pada tanggal 15 Oktober 2009, disebutkan bahwa semua partai koalisi harus mendukung kebijakan pemerintah. Namun, jika ada anggota koalisi yang tidak sepakat, maka hal tersebut diatur dalam butir kelima yang berisi sebagai berikut:

"Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis, seperti yang tercantum dalam butir 2 tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakukan komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik."

"Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol peserta koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari koalisi."

"Manakala parpol yang bersangkutan tidak mengundurkan diri, pada hakikatnya kebersamaannya dalam koalisi parpol telah berakhir. Selanjutnya Presiden mengambil keputusan dan tindakan menyangkut keberadaan parpol dalam koalisi dan perwakilan partai yang berada dalam kabinet."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

'Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya'

"Orang Toxic Jangan Masuk Pemerintahan, Bahaya"

Nasional
Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Prabowo Perlu Waktu untuk Bertemu, PKS Ingatkan Silaturahmi Politik Penting bagi Demokrasi

Nasional
Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Soal Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Bukan Cuma Harapan Pak Luhut

Nasional
Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Halal Bihalal Akabri 1971-1975, Prabowo Kenang Digembleng Senior

Nasional
Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin:  Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Anggap “Presidential Club” Positif, Cak Imin: Waktunya Lupakan Perbedaan dan Konflik

Nasional
Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Anggap Positif “Presidential Club” yang Ingin Dibentuk Prabowo, Cak Imin: Pemerintah Bisa Lebih Produktif

Nasional
Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta 'Selfie'

Jokowi Gowes Sepeda Kayu di CFD Jakarta, Warga Kaget dan Minta "Selfie"

Nasional
Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan 'Presidential Club'

Ketidakharmonisan Hubungan Presiden Terdahulu jadi Tantangan Prabowo Wujudkan "Presidential Club"

Nasional
Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Bela Jokowi, Projo: PDI-P Baperan Ketika Kalah, Cerminan Ketidakdewasaan Berpolitik

Nasional
Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya 'Clean and Clear'

Cek Lokasi Lahan Relokasi Pengungsi Gunung Ruang, AHY: Mau Pastikan Statusnya "Clean and Clear"

Nasional
Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Di Forum Literasi Demokrasi, Kemenkominfo Ajak Generasi Muda untuk Kolaborasi demi Majukan Tanah Papua

Nasional
Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada 'Presidential Club'

Pengamat Anggap Sulit Persatukan Megawati dengan SBY dan Jokowi meski Ada "Presidential Club"

Nasional
Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Budi Pekerti, Pintu Masuk Pembenahan Etika Berbangsa

Nasional
“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

“Presidential Club”, Upaya Prabowo Damaikan Megawati dengan SBY dan Jokowi

Nasional
Soal Orang 'Toxic' Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Soal Orang "Toxic" Jangan Masuk Pemerintahan Prabowo, Jubir Luhut: Untuk Pihak yang Hambat Program Kabinet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com