Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Darurat Pendidikan Nasional

Kompas.com - 19/04/2013, 03:04 WIB

Amril Aman

Pada tahun 1900, saat produksi secara massal di pabrik dimulai, setiap barang pada tahap akhir produksi akan diperiksa untuk menentukan produk itu cacat atau tidak. Itulah awal proses sistematis terkait dengan pengendalian mutu.

Lebih dari 100 tahun kemudian, teknik pengendalian mutu telah amat berkembang. Paradigma lama yang menekankan pengecekan setiap produk di akhir proses produksi telah lama ditinggalkan. Ironisnya, paradigma ini masih diterapkan dalam pengendalian mutu pendidikan kita.

Dalam minggu-minggu ini, jutaan anak didik kita akan dicek melalui ujian nasional (UN). Dari hasil UN ini akan ditentukan, seorang siswa merupakan produk cacat (tidak lulus) atau sebaliknya. Metodologi kuno yang telah lama ditinggalkan ini, di samping tak mangkus dan tak sangkil, juga tak manusiawi.

Kendati banyak pandangan yang menolak pelaksanaan UN, bahkan Mahkamah Agung dalam putusannya untuk perkara Nomor 2596 K/Pdt/2008 telah melarang pemerintah menyelenggarakan UN, pemerintah sampai saat ini tetap melaksanakannya. Pemerintah telah bekerja keras mencari justifikasi paradigma yang telah usang ini. Salah satu justifikasi yang digunakan pemerintah adalah UN membuat siswa stres dan, hal ini, pada gilirannya akan membuat siswa giat belajar.

Dalam kasus ini, sekali lagi pemerintah masih menganut pola pikir kuno sebab untuk membuat siswa giat belajar seyogianya dengan menciptakan pembelajaran yang menarik dan berbagai fasilitas dan teknologi yang tersedia saat ini, serta memandang dan memberlakukan siswa sebagai manusia dengan kekhasannya masing-masing.

Karena kinerja suatu lembaga pendidikan diukur dari keberhasilan siswanya pada UN, proses pendidikan telah dominan diwarnai untuk mencapai ukuran keberhasilan yang digunakan UN. UN merupakan ujian yang dilaksanakan dengan format pilihan berganda. Format semacam itu sama sekali tak mampu mengukur kemampuan dan potensi akademis yang dimiliki siswa secara holistis. UN hanya mampu mengukur kemampuan berpikir sederhana dan kemampuan mengingat. Akibatnya, proses pendidikan diarahkan untuk membuat siswa mampu berpikir sederhana serta mampu mengingat berbagai katalog fakta.

Elemen kompetensi terabaikan

Berbagai elemen kompetensi dan sikap amat penting seperti kemampuan bernalar dan berpikir kompleks, rasa ingin tahu, sikap kritis, sikap kreatif, kejujuran, sikap adil, dan kemampuan komunikasi terabaikan dalam proses pembelajaran. Secara gamblang Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB, mengatakan bahwa UN perusak budaya bernalar paling efektif (Kompas, 21/2). Dengan situasi semacam ini, kita mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang mampu melaksanakan pekerjaan rutin, lemah nalar, minim kreativitas, dan kurang komunikatif. Hal ini akan membawa konsekuensi sangat serius menghadapi tantangan masa depan yang kian berat.

Bayangkan bagaimana Indonesia pada tahun 2045 saat negara kita seratus tahun. Generasi yang lahir tahun ini saat itu akan ada pada usia 30-an tahun. Pada saat itu populasi Indonesia diperkirakan melebihi 290 juta, sekitar 50 juta lebih banyak daripada populasi sekarang. Sumber energi minyak telah lama habis, diperkirakan cadangan minyak cukup untuk 11 tahun lagi. Karena itu, sumber energi telah beralih ke sumber energi lain, seperti gas, batubara, panas bumi, dan energi terbarukan lain.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com