YOGYAKARTA, KOMPAS
”Kasus penyerangan LP Cebongan akhirnya dibelokkan pada isu pemberantasan premanisme. Seruan-seruan dukungan dan cap positif diberikan kepada Kopassus, seolah-olah masyarakat ditunjukkan, beginilah cara menangani preman karena hukum dan polisi tak lagi mampu diandalkan,” kata Dekan Fisipol Universitas Atmajaya Yogyakarta Lukas S Ispandriarno, Selasa (9/4), di Yogyakarta.
Menurut Lukas, seruan-seruan itu sangat membahayakan. Apabila tidak sadar dan memahami kasus ini secara jernih, masyarakat akan terbuai dan menyetujui praktik-praktik premanisme oleh negara atau aparat. Dengan kata lain, aksi main hakim seolah-olah menjadi dilegalkan di negara hukum ini.
Sejak peristiwa penembakan empat tahanan di LP Cebongan, isu premanisme terus bergulir. Pada Senin malam lalu, misalnya, sekelompok orang yang menamakan diri Rakyat Yogya Anti Kekerasan dan Anti Premanisme memasang spanduk-spanduk berisi dukungan kepada Kopassus serta seruan pemberantasan premanisme di beberapa lokasi di Yogyakarta.
Spanduk-spanduk tersebut, antara lain, terpasang di titik nol kilometer Yogyakarta, perempatan Tugu, Kotagede, dan Wirobrajan.
Direktur Indonesian Court Monitoring Tri Wahyu mengatakan, kasus penyerangan di LP Cebongan oleh oknum Kopassus tidak bisa menjadi alasan pembenar bahwa kekerasan bisa dilakukan aparat. Sebagai negara demokratis, penegakan hukum di Indonesia harus tetap dijalankan sesuai dengan konstitusi, bukan dengan cara-cara main hakim sendiri.
”Isu premanisme bukan sekadar isu tunggal, melainkan juga soal perebutan lapangan pekerjaan. Karena itu, negara juga harus hadir untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Kalau tidak, sama saja dengan buruk muka cermin dibelah. Di mana saat negara gagal memberikan pekerjaan kepada masyarakat, kasus ini justru ditarik menjadi isu lain, yaitu kekerasan oleh sekelompok preman,” kata Tri Wahyu.
”Dengan beredarnya isu premanisme tersebut, seolah-olah tindakan 11 anggota Kopassus menembak empat tahanan di LP Cebongan bisa dibenarkan,” ujar kuasa hukum empat korban tewas di LP Kelas IIB Cebongan, Hila Ngero.
Menurut Hila, kasus ini sangat disesalkan karena akhirnya berdampak negatif, yaitu berkembang menjadi isu SARA. Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta diharapkan cepat tanggap dan membantu menepis isu SARA tersebut.
Untuk meluruskan opini masyarakat, kata Tri Wahyu, Komnas HAM sebagai lembaga negara harus memberi pemahaman kepada masyarakat terkait penegakan HAM. Lalu, otoritas negara, yaitu presiden, juga harus memberi penjelasan bahwa kekerasan bukanlah watak kesatria.
Kasus pembunuhan empat tahanan di LP Cebongan hendaknya terus diproses dan dipandang sebagai pelanggaran hukum. Masyarakat diharapkan ikut mendukung penegakan hukum secara adil dan tidak termakan isu-isu yang tidak jelas. Polisi pun diharapkan dapat memberi jaminan keamanan.