Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

RUU Ormas dan Negara

Kompas.com - 09/04/2013, 02:32 WIB

Oleh Zuly Qodir

Tanggal 9 April 2013, jika benar terjadi, akan menjadi hari paling mengenaskan untuk Indonesia yang mengalami reformasi politik tahun 1998 dari kekuasaan otoriter yang zalim dan tidak demokratis. Sebab, pada tanggal tersebut, RUU Ormas disetujui DPR menjadi UU yang sangat jelas menindas masyarakat sipil.

Sebelum melakukan tindakan politik, agaknya DPR harus memiliki pikiran yang positif ketimbang negatif tentang warga negara sipil, khususnya organisasi kemasyarakatan (ormas) yang hendak disasar oleh Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas. DPR berniat melakukan pengawasan yang demikian ketat atas warga sipil, sementara perilaku anggota DPR sendiri tidak bisa dijadikan contoh bagi warga sipil yang berada di luar parlemen.

Apabila dicermati, pasal-pasal yang terdapat dalam RUU Ormas yang hendak disahkan mengandung terlalu banyak kelemahan dan kesalahan. Beberapa kesalahan dan kelemahan tersebut, antara lain, pertama, terjadinya tumpang tindih hukum (UU) yang ada di Indonesia. Oleh sebab itu, sebaiknya diperhatikan dahulu sebelum RUU ini disahkan.

Kedua, secara substansial, ada banyak pasal yang tidak sesuai dan janggal. Misalnya soal yayasan dan lembaga swadaya masyarakat. Kejanggalan juga terjadi ketika menggeneralisasi sebutan ormas sebab di sana terdapat ormas keagamaan dan non-keagamaan. Jika tetap dipaksakan untuk disahkan, bukankah itu merupakan hal yang memalukan sebab terdapat kesalahan-kesalahan dan kejanggalan?

Ketiga, apa bedanya RUU Ormas tahun 2013 ini dengan penindasan yang dilakukan negara tahun 1985 pada zaman Orde Baru? Bukankah tahun 2013 dengan RUU Ormas yang ada ini dapat dikatakan negara jauh lebih otoriter, memaksa, dan ketakutan kepada warga negara? Bukankah ketakutan negara disebabkan karena perilakunya sendiri yang tidak menyejahterakan rakyat? Lalu, kenapa warga negara yang disalahkan dan dibasmi kebebasan sipilnya?

Berhati-hatilah

Dalam kaitannya dengan RUU Ormas, saya kira—jika tidak berhati-hati—negara akan benar-benar memerankan dirinya sebagai penindas masyarakat sipil seperti zaman Orde Lama dan Orde Baru. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi yang memberikan hak dan kewajiban kepada warga negara untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik, sosial, budaya, ekonomi, dan kemanusiaan. Aktivitas yang dilakukan merupakan aktivitas yang bermartabat dan berwibawa karena mendorong dan membantu memajukan cita-cita negara sehingga tidak ada yang menentangnya. Menjadi persoalan ketika aktivitas masyarakat sipil bertentangan dengan dasar negara dan UUD 1945 sebagai bagian dari dasar bernegara di republik ini.

Negara, oleh sebab itu, jangan sampai terjebak dalam berbagai macam ritual formal karena mengejar target penyelesaian UU. Lalu, setiap undang-undang akan dan harus disahkan sekalipun akhirnya mengebiri, melemahkan, dan mendistorsi hal-hal yang jadi tujuan dan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.

Pembuatan UU tidak seharusnya karena dorongan dan intervensi asing (luar negeri) sebagai bagian dari korporasi global yang hendak mendikte dan memaksa Indonesia dalam kancah pertarungan pasar global sebagai bagian dari korporasi multinasional. Sungguh hal seperti itu harusnya dihindarkan oleh para politisi di Senayan yang belakangan menjadi bulan-bulanan media massa dan masyarakat. Semua itu karena perilaku politiknya yang tidak santun, tidak berwibawa, tidak terpuji, tidak membela warga negara yang kere, susah, dan tertindas.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com