Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korupsi di Politik Sistemik

Kompas.com - 14/03/2013, 07:54 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus-kasus korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan korupsi oleh anggota atau pengurus partai politik dilakukan secara sistemik, bersama-sama, dan dari hulu ke hilir. Para politisi itu pun mengincar sejumlah sektor strategis.

Menurut kajian Komisi Pemberantasan Korupsi, sektor- sektor strategis itu antara lain kehutanan, energi, pertanian, dan pengelolaan haji. Kajian KPK itu juga menunjukkan ada kelemahan pengaturan perundang-undangan dalam soal pendanaan partai politik yang menjadi salah satu penyebab maraknya korupsi oleh para politisi tersebut.

Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja, saat membuka seminar ”Membangun Akuntabilitas Partai Politik” di Jakarta, Rabu (13/3), mengatakan, kelemahan mencolok dari desain institusi demokrasi yang berkembang di Indonesia saat ini adalah kecenderungan untuk mengarahkan keterpilihan politik atas dasar kemampuan alokatif daripada kemampuan otoritatif alias kapasitas personal.

”Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan para politisi dan parpol yang bertaut dengan warisan tradisi negara patrimonial menjadikan kekuasaan sebagai ajang pungutan dan pengurasan. Realitas menunjukkan, politik uang semakin menunjukkan pengaruh yang besar dalam kehidupan politik di Indonesia,” kata Adnan.

Pendanaan parpol yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 sebagaimana diubah dengan UU No 2/2011 gagal mengemban misi agar menjauhkan parpol dari penggunaan pemilik uang. ”Kajian KPK menunjukkan masih ada kelemahan dalam UU Parpol terkait pengaturan pendanaan, meliputi batasan sumbangan, sanksi, mekanisme pelaporan dan batasan jumlah hingga jenis pengeluaran dana parpol. Kelemahan itu kemudian dimanfaatkan dalam bentuk celah-celah yang belum diatur, menggelapkan dana publik dengan memanfaatkan kelemahan sanksi,” ujarnya.

Dalam perkara yang melibatkan Rokhmin Dahuri, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan, tambah Adnan, ditemukan fakta sebagian dana nonbudgeter dari kementerian tersebut dialirkan berulang kali ke beberapa partai politik dari tahun 2002 sampai 2004 dengan nilai bervariasi.

Dalam kasus-kasus korupsi, keterlibatan anggota parpol dilakukan sistemik. Mereka, misalnya, memegang posisi keuangan, seperti bendahara partai. Dalam kasus korupsi proyek wisma atlet SEA Games, Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin menjadi tersangka. Pada kasus korupsi proyek pusat olahraga Hambalang, Nazaruddin mengakui uang hasil korupsi mengalir ke arena kongres dan membiayai pencalonan kandidat ketua umum partai tersebut. Di DPR, anggaran proyek itu, yang semula Rp 125 miliar, diubah melonjak sampai Rp 2,5 triliun.

Dalam kasus lain, seperti pencairan dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID), salah seorang politisi yang terlibat, mantan anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Wa Ode Nurhayati, mengungkapkan, saat dibahas, alokasi DPID sejumlah daerah sudah diincar politisi dari parpol tertentu.

Peneliti Lembaga Survei Indonesia dan pengajar Universitas Islam Negeri Jakarta, Burhanuddin Muhtadi, melihat korupsi telah sangat terstruktur dengan politisi menjadi patron dan pengusaha sebagai klien. ”Proyek baru diberikan kepada pengusaha yang dianggap paling memuaskan dalam memberikan pelayanan kepada anggota DPR dan birokrat,” katanya. ”Kasus Nazaruddin harus dibaca dalam konteks relasi-kuasa partai yang makin menguat,” tambahnya.

Dalam kasus suap pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian, Juru Bicara KPK Johan Budi SP mengungkapkan, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dianggap memperdagangkan pengaruh (trading of influence) karena posisinya. Menteri Pertanian Suswono adalah kader PKS sehingga Luthfi dianggap bisa memperdagangkan pengaruh untuk ikut menentukan kuota impor daging sapi.

Wakil Ketua DPR Pramono Anung yang menjadi pembicara kunci dalam seminar itu mengungkapkan, berkembangnya pragmatisme politik menjadi salah satu pemicu suburnya perilaku korup politisi. Pragmatisme politik menyebabkan biaya politik sangat tinggi.

Menurut Pramono, pengeluaran rata-rata dalam sistem politik proporsional terbuka adalah Rp 1,5 miliar hingga Rp 2 miliar. ”Politisi yang berasal dari figur publik paling sedikit membutuhkan biaya, Rp 200 juta sampai Rp 800 juta. Politisi dari TNI dan Polri berkisar Rp 800 juta hingga Rp 2 miliar, sementara pengusaha membutuhkan Rp 1,2 miliar hingga Rp 6 miliar,” katanya.

Angka-angka itu diperoleh Pramono dari penelitian untuk disertasi doktornya. Politisi PDI-P ini mengatakan, biaya itu hanya rata-rata yang diperoleh dari respondennya. Ia meyakini ada politisi yang membutuhkan biaya jauh lebih tinggi.

Guru Besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Padang, Saldi Isra, mengungkapkan, sulitnya mengubah wajah buruk perpolitikan di Indonesia karena bias parpol. Dia menyatakan, hasil perubahan UUD 1945 memang memperkuat posisi dan peran DPR, antara lain karena pengalaman executive heavy dan penyusun perubahan yang merupakan para politisi.

Saldi mengatakan, konstitusi mengatur terlalu banyak soal parpol. Jika dibandingkan negara lain, konstitusi Indonesia terlalu mengistimewakan parpol. ”Di Filipina hanya sekali konstitusinya menyebut partai politik. Amerika Serikat malah tidak menyebut posisi dan peran parpol di level konstitusi,” katanya.

Karena itu, terkait kasus korupsi yang melibatkan politisi, ujar pegiat Indonesia Corruption Watch, Abdullah Dahlan, KPK mesti mengembangkan pendekatan baru. KPK tak hanya menjerat pelaku korupsi, tetapi juga parpol sebagai korporasi yang menerima dana hasil korupsi.

Selain itu, diusulkan agar Badan Anggaran DPR tidak perlu menjadi lembaga permanen. Saat ini, koalisi LSM sedang mengajukan uji materi UU DPR, DPD, dan DPRD ke Mahkamah Konstitusi terkait penghapusan Badan Anggaran. (BIL/ANA)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Demokrat Anggap SBY dan Jokowi Dukung “Presidential Club”, tetapi Megawati Butuh Pendekatan

Nasional
Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Demokrat Bilang SBY Sambut Baik Ide “Presidential Club” Prabowo

Nasional
Jokowi Kembali Ingatkan Agar Anggaran Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Jokowi Kembali Ingatkan Agar Anggaran Habis Dipakai Rapat dan Studi Banding

Nasional
Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Jaksa Ungkap Ayah Gus Muhdlor Hubungkan Terdakwa dengan Hakim Agung Gazalba lewat Pengacara

Nasional
Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Disebut PAN Calon Menteri Prabowo, Eko Patrio Miliki Harta Kekayaan Rp 131 Miliar

Nasional
Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Termohon Salah Baca Jawaban Perkara, Hakim MK: Kemarin Kalah Badminton Ada Pengaruhnya

Nasional
Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak 'Heatwave'

Suhu Udara Panas, BMKG: Indonesia Tak Terdampak "Heatwave"

Nasional
Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Jumlah Dokter Spesialis Indonesia Kecil Dibanding Negara ASEAN, Jokowi: Masuk 3 Besar Tapi dari Bawah

Nasional
Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Jokowi Sebut Minimnya Dokter Spesialis Kerap Jadi Keluhan Warga

Nasional
Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Bappenas Integrasikan Rencana Pemerintah dengan Program Kerja Prabowo

Nasional
BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

BMKG Sebut Udara Terasa Lebih Gerah karena Peralihan Musim

Nasional
Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Disebut Sewa Influencer untuk Jadi Buzzer, Bea Cukai Berikan Tanggapan

Nasional
Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Profil Eko Patrio yang Disebut Calon Menteri, Karier Moncer di Politik dan Bisnis Dunia Hiburan

Nasional
PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

PDI-P Bukan Koalisi, Gibran Dinilai Tak Tepat Konsultasi soal Kabinet ke Megawati

Nasional
Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Jokowi Resmikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Berbasis Rumah Sakit

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com