Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presidensialisasi Partai Politik

Kompas.com - 23/07/2012, 04:28 WIB

Oleh Arya Budi 

Sudah beberapa minggu ini, sambil meladeni isu-isu publik, partai politik terus menapak tilas probabilitas kader strukturalnya dalam bursa pemilihan presiden tahun 2014.

Terkait ini, ada dua pertanyaan penting. Pertama, kenapa kader struktural partai demikian penting sekalipun belepotan dosa politik dibandingkan kader fungsional yang lebih konseptual? Seolah topologi kekuasaan dalam parpol hanya berada pada level struktur dan cenderung berfungsi simbolik. Kedua, kenapa calon presiden hampir selalu mendahului pembahasan isu pemilu itu sendiri, baik untuk eksekutif (baca: pilpres) maupun legislatif?

Tepat pertengahan periode durasi pemerintahan, agenda-agenda elektoral mulai dimainkan baik oleh individu politisi maupun partai secara organisasi. Namun, yang terjadi adalah pola presidensialisasi parpol. Presidensialisasi adalah bukan sekadar personalisasi yang menjadi ciri pengelolaan partai sejak pemilihan langsung 2004. Artinya, presiden jadi sumber legitimasi elite dalam partai. Dulu Riswanda Imawan (2004) berujar, rakyat Indonesia telah berpindah dari level suporter menjadi voter. Akan tetapi, kini, justru elite yang berpindah dari aktor menjadi suporter terhadap patronnya.

Memahami parpol

Untuk menjernihkan pemahaman ini, ada tiga cara untuk memahami parpol: keanggotaan, kecenderungan aliran (bukan ideologi), dan perilaku. Pertama, berdasarkan kluster konstituen, Indonesia hanya memiliki tiga partai, yaitu partai yang ”memakan” semua golongan, partai dengan representasi kelas sosial, dan partai dengan diferensiasi paham masyarakat. Secara ideologi hanya ada dua: partai nasional dan partai agama. Dalam kategori perilaku, kita hanya punya satu partai: partai elite.

Realitas kutu loncat atau perpindahan politisi dari satu partai ke partai lain sekalipun memiliki pertentangan arus aliran, menunjukkan tidak ada loyalitas lembaga. Yang ada presidency loyalty. Perpindahan politisi ini yang menjelaskan terpecahnya suara (split voting) dalam pemilu, yaitu orang yang memilih partai tertentu di level daerah, belum tentu memilih partai yang sama di level pusat. Dan, semakin jelas jika dihadapkan antara pilihan legislatif (partai) dan eksekutif (presiden). Presidency loyalty itulah yang menjelaskan kemunculan pernyataan politisi yang mendeklarasikan diri sebagai klien atas patron yang sedang berkuasa, bukan anggota, apalagi aktor politik. Muara atas hal ini cukup fatal: parpol bukan menjadi organisasi politik, melainkan pelembagaan kepentingan yang membajak demokrasi dengan pola dan motif pemburu rente. Tak mengherankan jika ada banyak ”partai faksi” yang muncul pascakongres partai atau kekalahan dalam pilpres.

Berbeda dengan parlementarisme, presidensialisme kita memungkinkan partai mengejar kursi eksekutif langsung sehingga orientasi kebijakan dan tujuan bisa jadi terletak pada perolehan kursi eksekutif, bukan legislatif. Ini yang menjelaskan pilpres bukan sekadar prestise partai sebagai organisasi, melainkan bagian dari driving goals. Perilaku partai mengikuti logika ini. Jika partai kalah di perolehan kursi terbanyak parlemen, belum tentu dia kalah untuk memimpin penyelenggaraan negara pasca-pemilu karena ruang menangkap kursi eksekutif bisa dilakukan tanpa menggantungkan pada proses pemilu legislatif yang sekuensial.

Menurut David Samuels (Presidentialiazed Parties, 2002), formasi konstitusional berimbas pada perilaku parpol. Thomas Poguntke and Paul Webb (Presidentialization of Politics, 2007) misalnya, membeberkan pengalaman di 14 negara Eropa dan Amerika bahwa pemimpin eksekutif, baik dalam konsep presidensial maupun parlementer, punya otonomi yang semakin luas untuk tak selalu mengonfirmasi keputusan politiknya dengan elite (pemimpin politik) di partai ataupun secara organisasional dengan partai asalnya.

Hal ini berlaku sama di Indonesia ketika semua elite mengamini struktur budaya paternalistik (atau maternalistik pada periode 2002-2004 yang terjadi) di lembaga partai. Akhirnya, perwajahan patron-klien yang dominan sepanjang rezim Soeharto di level negara kini terdesentralisasi ke dalam tubuh parpol, yaitu ada dua pilihan: paternalistik atau maternalistik. Dua pilihan ini berkarakter sama selain hanya soal seksologi pucuk pemimpin yang membedakan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com